Jumat, 02 September 2011

Di Sana Aku Belajar Menjadi Misionaris


Fr. Habel Melki Makarius, CM
Refleksi Misi Umat Vinsensian 2011


Pengalaman Pertama?
            Pengalaman saya untuk terlibat dalam Misi Umat Vinsensian, ini adalah yang pertama kalinya. Suatu kegembiraan karena boleh ambil bagian dalam pelayanan kepada umat di stasi di mana saya ditugaskan. Misi Umat Vinsensian pertama-tama saya artikan sebagai pendalaman akan perjumpaan saya dengan umat yang saya jumpai atau kunjungi. Bekal-bekal yang sudah diberikan ketika mengikuti lokakarya-lokakarya ternyata memberi sumbangsih kepada saya ketika menjalani Misi Umat. Saya harus belajar dari pengalaman maupun penjelasan supaya saya benar-benar siap di hari halnya.
            Pada misi umat ini saya ditugasi di tempat yang benar-benar baru bagi saya, baik lingkungan, kehidupan umat, tradisi, budaya, dan bahasa. Itu semua tidak menyurutkan semangat saya untuk datang ke tempat itu. Apalagi kekurangan informasi akan tempat yang saya ditugaskan tidak membuat saya takut atau down spirit.  Justru ini dapat memberi hal-hal baru bagi pengalaman hidup saya. Tidak ada sedikit pun ketakutan dalam diri saya. Saya dapat belajar dari hal-hal baru yang saya jumpai dan alami. Dan yang terpenting bagi saya yaitu “Di sana saya akan melayani Tuhan.”.

Tentang Di Sana
            Genjong. Inilah tempat di mana saya ditugaskan. Sebuah stasi yeng letaknya agak jauh dari pastoran paroki St. Petrus dan Paulus, Wlingi. Genjong letaknya tepat di bawah kaki Gunung Kawi. Ketika dalam perjalanan, saya sudah membayangkan bahwa tempat ini terletak di sebuah lereng gunung dan dengan cuaca yang dingin sebab termasuk daerah pegunungan. Apalagi di kiri-kanan jalan terdapat berbagai jenis perkebunan seperti kopi, cengkeh, coklat, dan karet. Dalam hati saya mengatakan bahwa selama sepuluh hari saya akan menjadi “Orang Gunung”. Seorang ”Anak sungai” yang bermutasi ke gunung. Setelah sampai di tempat tujuan, Genjong, apa yang saya pikirkan ternyata tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Sehingga tidak menyebabkan keterkejutan yang luar biasa dari diri saya. Hal yang pertama yang akan saya buat dengan diri saya yaitu mencoba bersahabat dengan situasi dan kondisi di Genjong.
            Umat Genjong sangat bersahabat dan dengan cepatnya menerima kehadiran kami (Fr. Diakon Yoyok dan Saya). Kedatangan kami menjadi suatu kerinduan yang ada di tengah-tengah mereka. Memang di stasi ini setiap tahunnya selalu ada seminaris dari Garum yang ditugasi di sana, tapi yang menjadi kegembiraan bagi mereka terhadap kedatangan kami yaitu  tujuan dari kedatangan kami.
Umat di sini mengerti akan latar belakang saya yang tidak terlalu tahu Bahasa Jawa. Selain itu saya juga tidak malu mengakui bahwa saya tidak tahu Bahasa Jawa. Sikap pengertian dari umat Genjong ini semakin memberi semangat kepada saya bahwa soal bahasa tidak menjadi persoalan. Yang terpenting bagaimana saya bisa menjalin relasi dengan mereka.   
Antusiasme mereka terhadap acara misi umat ini sangat besar. Mereka mengharapkan sesuatu yang bisa menyentuh dan menggerakkan kehidupan menggereja umat di stasi ini. Oleh sebab itu, ini menjadi tanggung jawab kami untuk bisa memberi apa yang mereka harapkan. Dilihat dari segi pengalaman, saya bukanlah apa-apa. Saya baru saja berkecimpung dalam misi umat. Tapi harapan besar saya terletak pada Fr. Diakon Yoyok yang sudah lama berkecimpung di sana. Ini bukan berarti pula bahwa kehadiran saya tidak berarti apa-apa melainkan bagaimana usaha saya dalam membantu beliau supaya apa yang menjadi tema Misi Umat Vinsensian ini dapat sampai kepada umat dengan baik dan mudah diterima oleh mereka.
Kalau bicara mengenai kehidupan keseharian umat Genjong yaitu hampir sama setiap harinya dan setiap keluarga. Karena mayoritas penduduknya adalah petani maka pekerjaan mereka juga sama yaitu bertani. Soal pekerjaan mereka tidak menjadi persoalan bagi saya karena dari kecil saya sudah hidup dalam lingkungan petani. Hanya saja jenis cocok tanam yang berbeda. Ini disesuaikan dengan lingkungan dan cuaca yang berbeda dari tempat saya tinggal. Umat di sini bercocok tanam kopi, cengkeh, dan jenis tanaman lain yang cocok di daerah pegunungan. Adapula umat yang mengelola hewan ternak seperti sapi perah dan kambing sebagai mata pencaharian lainnya, ini tidak semua dimiliki oleh umat di sana. Tentu soal perternakan inilah yang merupakan sesuatu yang baru lainnya dalam pengalaman hidup saya. Oleh sebab itu hampir setiap pagi saya disuguhi susu sapi segar yang baru saja diperas, setelah melalui proses pemanasan.
Kehidupan umat dari pagi sampai siang yaitu bekerja di perkebunan teh. Oleh sebab itu, pada pagi hari kegiatan kami yaitu evaluasi bersama, doa pagi, dan menulis laporan sebab umat tidak ada di rumah karena semuanya bekerja di perkebunan itu. Dari pekerjaan ini mereka mendapat upah sebesar Rp. 15.000,00-. Dari muda sampai tua pergi ke sana kecuali anak-anak yang masih kecil dititipkan kepada orang-orang yang sudah lanjut usia yang tidak mampu lagi berjalan jauh. Sepulang dari perkebunan teh, mereka mengerjakan kebun mereka sendiri. Ada yang pergi ngarit (mencari rumput untuk makan ternak) atau ngramban (mencari daun untuk makan ternak). Kegiatan seperti ini menjadi rutinitas keseharian mereka. Maka semua jenis pertemuan dilakukan pada malam hari sedangkan kunjungan dilakukan secara berpindah-pindah setiap hari dari satu rumah ke rumah sekaligus tidurnya para misionaris.

Aku Belajar
Pengalaman misi umat selama sepuluh hari di stasi Genjong ternyata mengasyikkan hati saya. Apa yang dapat saya pelajari? Ketika harus melihat situasi umat yang seperti itu, rutinitas keseharian mereka, gaya hidup mereka, dan lebih dalam lagi yaitu hidup beriman mereka membuat saya harus belajar atau menimba hal-hal penting bagi perjalanan hidup saya. Misalnya usaha mereka dalam mencari nafkah yang mulai dari subuh sekali sampai sore harus bekerja baik melalui sebagai orang upahan atau tidak. Usaha keras ini tentu mempunyai tujuan yang tidak lain  yaitu bertahan hidup. Dalam sharing sebuah keluarga mengatakan bahwa pekerjaan yang sedemikian sibuknya ini, terkadang membuat mereka lupa akan Tuhan. Hari Minggu yang sebenarnya adalah hari yang dikhususkan untuk istirahat supaya dapat pergi kapel justru menjadi hari yang bagi mereka digunakan untuk mencari uang. Melihat hal ini, saya merefleksikan kehidupan saya apakah yang telah saya lakukan selama ini terhadap kesibukan-kesibukan saya, melupakan atau sebaliknya?
Di sisi lain, ada umat yang meskipun sudah lanjut usia tetap bersemangat untuk datang ke Gereja dan masih kuat bekerja. Kehidupan iman umat yang seperti ini tentu memberi kesegaran bagi kehidupan iman saya pula. Saya seorang religius belum tentu mempunyai iman yang baik, oleh sebab itu iman seorang awam dapat saya contohi.
Hal lain yang saya pelajari yaitu hal-hal praktis dalam kehidupan sehari-hari seperti bahasa, budaya, dan jenis pekerjaan mereka seperti memeras susu sapi, menggiling kopi. Hal-hal praktis ini berguna bagi saya karena dengan cara ini saya bisa mengerti dan merasakan pekerjaan mereka, hidup mereka. Lebih dari pada itu, saya memperoleh sedikit pengetahuan tentang hal-hal itu dengan cara merasakan dan mencobanya.   

Menjadi Misionaris  
            Suatu usaha yang tidak kalah menariknya yaitu belajar menjadi misionaris. Sebelumnya saya ingin mengajak melihat kembali makna misi umat pada zaman St. Vinsensius. Misi umat pada waktu itu diartikan sebagai suatu pelayanan imam-imam lazaris ke desa-desa yang ada di Paris. Di sana mereka melakukan misi seperti memberi pengajaran-pengajaran iman, katekismus, pelayanan sakramen-sakramen maupun sakramental lainnya. Mereka mengunjungi setiap umat yang ada di sana sekligus tidur di rumah umat. Berawal dari misi umat yang dilakukan oleh St. Vinsensius inilah, lahir karya besar yaitu misi Ad Gentes. Sebenarnya misi-misi yang dilakukan di desa-desa sekitar Paris merupakan tonggak dari karya misi imam-imam lazaris. Oleh sebab itu perkembangan misi yang begitu pesat ini menjadikan serikat kita supaya terus menghidupkan semangat misi.
            Di Genjong saya belajar menjadi seorang misionaris. Seorang misionaris saya artikan sebagai sebuah pengabdian dan pelayanan. Pelayanan semata-mata bukan karena kepentingan saya sendiri atau pemuasan nafsu saya melainkan sebuah kesadaran akan kebutuhan orang miskin. Misi umat ada karena adanya kemiskinan baik jasmani maupun rohani. Demikian pula situasi umat di Genjong yang saya jumpai, saya menemukan kemiskinan-kemiskinan yang seperti itu. Dengan demikian dibutuhkan misionaris seperti yang diharapkan oleh santo Vinsensius.
            Setiap pelayan misi di sana sangatlah berarti bagi hidup panggilan saya. Saya merasa bahwa kehadiran saya di tengah-tengah umat juga memberi dampak positif bagi hidup saya. Terutama bagaimana saya mencintai panggilan saya serta menumbuhkan semangat seorang misionaris. Sungguh Tuhan membutuhkan orang-orang yang mau bersedia melanjutkan karya keselamatan-Nya di tengah-tengah dunia ini.
               

1 komentar:

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...