Minggu, 22 Januari 2012

Cerpen: Kado Buat Tuhan


Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena silaunya cahaya itu dan keringat di seluruh badan. Sinar itu datang melalui ventilasi yang berada di atas jendela kamar. Ingin kututup ventilasi itu dengan kain tapi tidak bisa karena badan saya  pendek. Dan tidak mungkin saya memanjatnya karena badan terasa lemas sekali.
Akhirnya saya bangun dari tempat tidur dan berjalan menuju meja belajar yang ada di dekat jendela. Saya membuka jendela kamar dan membiarkan cahaya matahari sore memenuhi kamar tidur. Meskipun sudah bangun saya mencoba untuk tidur lagi di atas meja. Ketika ingin terlelap lagi, saya mendengar suara ibu memanggil.
“Nak, apakah kamu sudah bangun tidur? Tolong ke sini bantu ibu sebentar!”  Terdengar suara ibu memanggil saya. Ternyata ibu tahu kalau saya sudah bangun. Oleh sebab itu, ia meminta saya untuk membantunya. Ia mengetahui melalui bunyi jendela yang telah saya buka. “ Nanti dulu ya bu! Masih belum segar nih,” jawabku.
Dari jendela kamar saya melihat ibu dengan tekun mengisi pot-pot dengan tanah. Kemudian dia mengambil berbagai macam jenis bunga yang telah ditanamnya di pollybag dan memindahkan bunga itu ke dalam pot yang telah diisi dengan tanah. Terus menerus ibu melakukan kerjanya itu sehingga sudah banyak pot yang telah terisi dengan bunga. Tampak jejeran pot-pot dengan bunga-bunga yang indah tersusun rapi di kursi panjang yang sengaja dibuat oleh ibu untuk meletakkan bunga-bunga itu.
Lalu saya mengambil buku Chickens Soup yang tersusun rapi di atas meja belajar. Halaman demi halaman saya buka. Ada berbagai cerita menarik. Tiba-tiba kegiatan membaca saya berhenti sejenak karena ada kata-kata yang begitu menarik. Saya mengambil buku kecil yang ada di dalam laci meja. “Apakah maksud kata-kata ini?” pikirku. “Lebih baik kutulis sekarang.”
“Seorang ahli kimia yang dapat mengeluarkan dari hatinya, 
welas asih, rasa hormat, kerinduan, kesabaran, penyesalan, 
keterkejutan, dan rasa maaf, lalu memadukannya menjadi suatu senyawa, 
akan mampu menciptakan atom yang disebut cinta.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kuambil buku kecil yang ada di dalam laci dan kutulis kata-kata tersebut. Setelah itu kusimpan kembali buku itu di dalam laci kemudian melanjutkan membaca cerita-cerita yang lain. Tidak lama kemudian, terdengar suara ibu memanggil lagi.  “Anton cepat ke halaman, ibu butuh bantuan! Ibu tidak mampu mengangkat tanah ini. Cepat nak Bantu ibu. Tingalkan dulu buku itu nanti kamu lanjutkan lagi.”
Panggilan ibu membuat saya menjadi marah karena dari tadi terus saja memanggil. Karena jengkel maka tidak saya hiraukan. “Lebih baik membaca,” pikirku. “Lagian buku ini sangat penting bagi hidup saya. Tidak ada yang lebih baik dari pada membaca buku ini.” Memang dari dulu saya lebih senang membaca daripada melakukan hal-hal yang lain. Untuk membaca saya kadang-kadang sampai lupa waktu. Saya tidak mempedulikan situasi di sekitar saya jika sedang asyik membaca.
Tapi perasaan marah dan kesal menyelimuti saya ketika suara ibu terus terdengar memanggil supaya membantunya. Panggilan ini tidak saya hiraukan lagi. Saya  semakin menutup kedua telinga saya dengan kedua jari telunjuk. Tetapi tetap saja suara ibu terdengar memanggil. Dengan rasa jengkel dan marah, saya hempaskan buku itu di atas meja belajar dan dengan langkah berat beranjak ke luar. “Bu kok siang-siang gini kerja sih? Sekarang kan baru jam 3. Bisa tidak tunggu sore dikit?”
Ibu diam. Dia tidak menjawab pertanyaan saya. Dengan tenang dan tunduk dia memindahkan tumpukan tanah kompos dari tempat yang besar ke tempat yang kecil supaya dia bisa membawanya. Dia tahu bahwa saya tidak mau membantunya. Karena melihat ekspresi wajah saya  yang marah, dia tidak lagi mengajak untuk bekerja lagi. Melihat kemenangan yang kuperoleh itu, dengan langkah riang saya kembali masuk kamar dan melanjutkan membaca buku.
            Ibu tidak memanggil lagi sampai pukul 05.30. Saya melihat ke luar sudah mulai gelap. Belum ada tanda-tanda kalau ibu sudah masuk rumah. lampu-lampu di ruang tamu masih gelap. Hanya di kamar saya yang sudah menyala lampunya.
Sudah jam 06.00 lampu di luar masih belum dinyalakan. Belum terdengar suara berisik dari luar kamar. Suara lonceng angelus dari gereja terdengar lembut memanggil anggotanya untuk berdoa “Malaikat Tuhan”. Saya merasa heran mengapa suara ibu tidak terdengar sedikitpun. Padahal saya tahu ibu selalu mendoakan doa ini. Meskipun sedang bekerja ia selalu berhenti sejenak untuk berdoa. Rasa heran ini saya simpan karena terlalu asyik membaca.
Ayah saya belum juga datang dari kerjanya. Ayah adalah seorang sopir bis yang biasanya pulang pada jam 10.00-11.00 malam atau bahkan tidak pulang dalam satu hari. Makanya tidak heran bagi saya jika kehadiran ayah di rumah hanya sebentar-sebentar saja. Karena bagi saya jika ayah datang tengah malam atau bahkan tidak datang, itu hal yang biasa.
Setelah buku itu habis terbaca, saya beranjak dari tempat duduk menuju kamar mandi yang berada dekat dapur sekaligus ingin melihat pekerjaaan ibu. Saya  ingin melihat apa yang ibu lakukan di dapur, sampai-sampai lampu tidak dinyalakan. Ketika sampai di dapur, lampu juga masih gelap. Maka dengan perasaan cemas saya memikirkan ibu. Saya  segera berlari ke halaman depan.
            Saya terkejut karena melihat sosok tubuh manusia terbaring di tanah. Saya terus mengamati sosok itu karena suasana di tanah sudah gelap. Saya semakin penasaran sosok tubuh siapakah itu? Tampaknya seorang wanita tua, tapi itu tidak mungkin ibu. Karena rasa penasaran ini saya berlari ke dalam rumah untuk menekan skalar lampu yang tidak jauh dari pintu depan. Setelah itu berlari ke pintu depan untuk memastikan siapa sosok itu.
Nafas saya berdetak kencang, kepanikan semakin menjadi-jadi karena melihat sosok itu ternyata ibu. Tiba-tiba air mata saya mengalir. Karena melihat ibu sudah terbaring di tanah, saya segera berlari ke tempat ibu. Alangkah terkejutnya ketika mendapati seluruh tubuh ibu sudah dingin. “Ibu… ibu.. apa yang terjadi? Bangun bu!” tangisan saya semakin terdengar keras. Kepanikan semakin menyelimuti. Ingin saya angkat tubuh ibu tetapi tidak mampu.
Saya  sandarkan kepala saya di atas dada ibu. “Oh Tuhan! Nafas ibu berhenti,” teriakku. saya semakin panik dan menangis dengan histeris. Untuk memastikannya lagi, tangan saya langsung menyentuh denyut nadinya. Nafas saya menjadi tidak karuan dan tangis semakin histeris. Tetangga-tetangga berdatangan karena mendengar tangisan saya. Mereka membantu saya mengangkat tubuh ibu ke dalam rumah. Mereka juga mengatakan bahwa ibu benar-benar sudah tiada. Tidak dapat lagi dibendung tangisan saya.
Ucapan turut berduka cita dan hiburan terdengar di telinga saya. Saya merasa muak mendengar semuanya itu. Ada sesuatu yang mengganjal hati sehingga saya terus menatap tubuh yang terbaring lurus di depan mata. Penyesalanlah yang sedang mengganjal itu. Saya  menyesal dan sungguh menyesal mengapa saya tidak membantu ibu tadi. saya tidak memperhatikan kesehatan ibu. Padahal saya tahu kalau ibu selama ini menderita penyakit jantung. Saya  bodoh dan bodoh. Tapi mengapa Tuhan tidak memberi waktu untuk saya supaya meminta maaf kepada ibu? Cukup berdosakah saya? Sekali lagi saya katakan bahwa saya bodoh dan egois.  
Hari demi hari terus berlalu. Sekarang saya hanya mempunyai seorang ayah dan tidak mempunyai saudara satupun karena saya adalah anak semata wayang. Makanya saya sangat mencintai ayah dan tidak ingin peristiwa itu terulang lagi untuk kedua kalinya. Seminggu sekali saya dan ayah mengunjungi makam ibu. Saat inilah saya semakin tersadar bahwa ibu tetap mencintai saya. Ia selalu mendoakan saya  dari surga. “Meskipun sulit dan senang, cobalah untuk mencari makna positif dari peristiwa tersebut.” Demikian ayah menasehati saya kali ini ketika dalam kunjungan ke makam ibu menjelang Ujian Nasional. Dan kata-kata inilah yang semakin menguatkan saya. Saya mau mencari makna positif dari kematian ibu. Saya tidak ingin rasa penyesalan itu selalu mengungkung kehidupan saya. Kemudian dalam hati saya berkata di samping batu nisan ibu, “Ibu saya ingin masuk biara. Saya janji setelah lulus nanti akan saya lakukan.” Demikian janji saya kepada ibu di depan batu nisan yang ada di depan saya.
Sabtu. 25 April 2009
Kepada: Anakku Anton Toto Iswanto
          Di seminari
“Dialah buah hatiku, dia kuserahkan kembali kepadaMu.”
Nak itulah tulisan ibumu yang kertasnya masih tersimpan sampai saat ini. Saya yakin kamu bisa memahaminya.
Yang mencintaimu
Ayahnda Jimmy

Satu tahun telah terlewati bagi saya untuk memenuhi janji saya kepada ibu. Meskipun dengan berat hati, ayah mengijinkan saya untuk masuk biara. Tapi bagi saya sendiri, masuk biara merupakan sesuatu yang menyenangkan karena banyak memiliki teman yang baru dan asyik. Satu hal yang sangat saya kembangkan dalam kehidupan di seminari yaitu mencintai panggilan dengan mencintai alam. “Ibu adalah seorang pencinta alam karena merawat tanaman adalah kesukaannya. Mengapa saya tidak meneruskan ini dalam kehidupan saya saat ini,” pikirku. Saya menyadari bahwa merawat tanaman merupakan hobby ibu. Cuek merupakan sikapku yang menyebabkan kematian ibu. Oleh sebab itu, merawat tanaman dan menghilangkan rasa cuek pelan-pelan saya hidupi. Dari hal inilah meskipun dalam lingkungan seminari, saya tetap memberi yang terbaik buat ibu.
Sabtu sore romo direktur memberi sepucuk surat yang tertuju atas nama saya. Kuterima surat itu dan kulihat alamat pengirimnya. Ayah telah mengirim surat itu kepada saya. Saat menerima surat ada perasaan senang karena sudah dua bulan ini ayah tidak mengabari saya. Dengan segera saya berlari menuju kamar dengan membawa sepucuk surat di tangan. Sesampai di kamar kuletakkan badanku di atas kursi yang berada di depan meja belajar. Setelah saya menenangkan diri, kubuka isi amplop itu. Isinya hanyalah sepucuk surat yang ditulis tangan oleh ayah. 
           


          

Sadarlah akan cinta Tuhan di balik berkah cinta manusia. Cinta manusia membawa keresahan hati dan ketidakpastian, tetapi cinta Tuhan mengalirkan keyakinan dan kegembiraan abadi ke dalam batin Anda.

Sabtu, 10 Desember 2011

psikologi dan pendidikan calon imam


1.    Pengantar
Imam adalah bagian terpenting bagi kehidupan Gereja. Seorang imam adalah representasi dari kehadiran Kristus Yesus di dunia ini. Seorang imam dipanggil untuk menjadi seorang alter kristus atau Kristus yang lain bagi sesamanya.[1] Imam dipanggil membagikan kasih Kristus pada sesama dan membawa setiap orang untuk datang pada Kristus. Untuk mencapai apa yang diidealkan oleh Gereja, tentu proses formasi imamat seorang seminaris perlu diperhatikan. Proses formasi seorang calon imam benar-benar membutuhkan pertolongan ilmu psikologi agar pribadi para seminaris mampu berkembang menuju kematangan dan kedewasaan. Pernyataan kepausan Pasca-Sinode, Pastores Dabo Vobis, membahas berbagai dimensi pembentukan imam: manusia, rohani, intelektual, dan pastoral. Oleh sebab itu,  kami ingin menguraikan pengaruh-pengaruh psikologi terhadap dimensi-dimensi tersebut.  







2. Pengaruh Psikologi Dalam Dimensi Kematangan Manusiawi
Mengapa pembinaan manusiawi sangat penting (dalam hal ini ilmu psikologi turut berperan penting)? Seorang imam sekali lagi merupakan seorang Kristus yang lain bagi sesamanya. Seorang imam dipanggil untuk menemani sesama dalam setiap  perjalanan kehidupan sampai pada ambang kematian.[2] Seorang imam yang tidak dewasa secara manusiawi tidak akan mungkin bisa menjadi seorang pelayan yang baik. Pelayanan seorang imam tersebut tentu akan menyusahkan kehidupan umat dan membebani perjalanan kehidupan seorang imam tersebut.
Banyak kasus pelecehan seksual terjadi beberapa tahun ini. Tentunya hal tersebut dilakukan oleh beberapa imam Katolik. Realitas semacam ini menunjukkan betapa jelas bahwa imam yang melakukan kasus tersebut kurang memiliki kedewasaan manusiawi, khususnya seksualitas mereka. Kasus-kasus tersebut memang memalukan dan turut menjadi bahan evaluasi bagi pembinaan para calon imam. Apa yang terjadi tersebut merupakan sebuah tantangan pula bagi proses pembinaan calon imam selanjutnya.
Bagaimanakah proses formasi calon imam yang manusiawi untuk sekarang ini? Sebuah pendekatan psikologis patut diperhatikan dalam hal ini. Salah satu hal utama yang patut menjadi acuan dasar pembinaan adalah kedewasaan kepribadian. Sasaran utama pembinaan adalah bagaimana menjadikan kepribadian seorang calon imam benar-benar manusiawi secara psikologis sehingga mampu menanggapi panggilan Tuhan dengan baik. Menjadi semakin manusiawi berarti bertumbuh secara matang seturut dengan dimensi-dimensi kehidupan kita, baik badan, mental dan jiwa.[3]
Kematangan kepribadian sungguh sangat penting. Gereja mengungkapkan pentingnya dimensi ini. Hal ini terungkap secara nyata dalam Guidelines for The Use of Psychology in The Admission and Formation of Candidates for The Priesthood art.2:
“Some of these qualities merit particular attention: the positive and stable sense of one's masculine identity, and the capacity to form relations in a mature way with individuals and groups of people; a solid sense of belonging, which is the basis of future communion with the presbyterium and of a responsible collaboration in the ministry of the bishop;  the freedom to be enthused by great ideals and a coherence in realizing them in everyday action; the courage to take decisions and to stay faithful to them; a knowledge of oneself, of one's talents and limitations, so as to integrate them within a self-esteem before God; the capacity to correct oneself; the appreciation for beauty in the sense of “splendor of the truth” as well as the art of recognizing it; the trust that is born from an esteem of the other person and that leads to acceptance; the capacity of the candidate to integrate his sexuality in accordance with the Christian vision, including in consideration of the obligation of celibacy.”
Kematangan tersebut secara nyata menunjuk pada kematangan afektif dan ketiadaan gangguan mental dari dalam diri para calon imam. Semuanya ini merupakan tugas Gereja untuk mewarnai para calon imam dengan integrasi semua dimensi manusiawi manusia secara efektif dalam terang spiritual, supaya para calon imam mampu mencapai kepenuhannya.[4]
Proses formasi seorang formandi adalah sebuah perjalanan menuju kematangan dan kedewasaan manusiwi. Proses mencapai hal itu tidaklah mudah sama sekali. Diri setiap formandi dibentuk oleh berbagai macam faktor, seperti budaya, keluarga, lingkungan, relasi dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut membentuk setiap formandi berkarakter macam-macam satu dengan yang lainnya. Tidak semua faktor yang ada dapat membentuk formandi benar-benar menjadi matang. Ada juga faktor yang justru membuat pribadi formandi mengalami luka batin ataupun cacat secara psikis. Hal-hal seperti inilah yang sering menghalangi langkah para formandi untuk mencapai kematangan.
2.1 Formasi calon imam: meneguhkan makna seksualitas
Masa-masa formasi calon imam merupakan sebuah masa yang tepat sekali untuk membina para seminaris untuk memiliki pemahaman yang memadai mengenai seksualitas. Pemahaman seksualitas yang keliru akan berdampak pada masa depan seminaris itu sendiri. Sebut saja, pelecehan seksual dan  terhambatnya proses integrasi kepribadian. Paul Suparno mengatakan bahwa seksualitas itu menyangkut seluruh keberadaan diri kita sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan. Selanjutnya, Rolheiser (dalam Suparno 2006) mendefinisikan seksualitas sebagai energi yang indah, baik, sangat kuat, dan suci, yang diberikan oleh Tuhan dan dialami dalam seluruh hidup kita, sebagai suatu dorongan yang tidak dapat ditekan, yang mendorong orang untuk mengatasi ketidaklengkapan, menuju kesatuan yang utuh. Dengan demikian seksualitas sungguh amat penting bagi pembinaan para calon imam. Seksualitas membantu para calon imam menggapai keutuhan diri.
Pembinaan seksualitas diperlukan sekali guna membentuk seorang imam yang benar-benar utuh. Patut diperhatikan pula bahwa pilihan hidup selibat itu tidaklah mudah untuk dijalani. Seorang seminaris adalah manusia biasa sama dengan orang-orang lainnya. Setiap seminaris pada dasarnya memiliki dorongan seksual yang umum sama seperti yang dialami oleh orang lain. Pendidikan seksualitas diperlukan sekali untuk mengarahkan setiap pribadi untuk mengelola setiap gejolak-gejolak seksualitas tersebut.
Setiap gejolak seksualitas patut disyukuri. Semuanya itu adalah anugerah yang indah bagi kehidupan mereka. William Kraft dalam Celibate Loving, Encounter in Three Dimensions menegaskan bahwa manusia itu genital, punya dorongan seksual, namun untuk menjadi manusia penuh tidak harus mengungkapkan dorongan tersebut secara badaniah[5]. Menurut Kraft, ada lima cara untuk menghadapi dorongan-dorongan seksual tersebut, yaitu represi, supresi, sublimasi, gratifikasi dan integrasi.






Apa yang diungkapkan oleh Kraft penting sekali untuk diperhatikan. Khusus untuk bagian gratifikasi dan represi patut diwaspadai. Keduanya merupakan salah satu bentuk pelampiasan yang kurang tepat. Bukan integritas yang di dapatkan melainkan sebuah gejala patologis. Perkembangan hidup calon imam seperti ini akan senantiasa terbebani dengan kehausan afirmasi jati diri. Dampak yang terjadi bisa saja kasus pelecehan seksual. Seksualitas bukanlah penghambat integrasi diri melainkan sebagai energi untuk menggapai integritas.
2.2 pembentukan Kepribadian dalam Hidup Komunitas
Sebagai pribadi yang terpanggil para calon imam juga harus menyadari segi kemanusiawiannya, yang tidak boleh dihindari melainkan dijalani dan dihadapi sebagai rahmat. Hal ini terkait dengan latar belakang formandi, pendidikan, karakter, dan budaya yang berbeda satu sama lain yang nantinya disatukan menjadi satu kesatuan yang disebut hidup komunitas. Latar belakang para calon inilah yang membentuk setiap karakter para calon imam. Dalam kehidupan seminari seorang tidak dapat terpisahkan dengan orang yang lain karena seminari tempat untuk menempa diri dan bersama sesuai tradisi gereja perdana.  Perbedaan karakter di komnunitas diharapkan saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, namun dari bisa saja ditinjau lebih jauh ada kemungkinan juga bahwa hidup komunitas bisa menjadi kesempatan bagi pelaku penyimpangan (kecendrungan homoseks atau lesbi). Maka dari itu peran dari ilmu psikologi terasa perlu untuk menjelaskan pribadi manusia dipahami secara ilmiah. Gereja sungguh menyadari peran psikologi dalam pembinaan calon imam sehingga dapat membatu para calon ini untuk mengolah pribadinya menjadi pribadi yang berkualitas akan tugas pelayanan.
Berdasarkan riset yang terbaru, yang dibuat oleh Luigi Rulla SJ, Pakar Psikologi Hidup Religius dan teman-temannya membuka kenyataan bahwa kebanyakan krisis imam dan hidup religious terjadi justru karena inkosistensi bawah sadar. Dari 60%-80% subyek yang diobservasi menunjukkan adanya kerapuhan psikologis yang bersumber dari inkonsistensi bawah sadar (dinamika bawah sadar yang menentukan motivasi dan dinamika hidup pribadi). Pribadi-pribadi mengalami kesulitan karena adanya dorongan dan kecendrungan bawah sadar yang bertentangan dengan panggilan yang telah diterima dan diikrarkan dengan sadar dan bebas. Inkonsistensi bawah sadar tersebut cendrung mengakar dalam pribadi meski sudah melewati masa pembinaan yang ketat, dan berhasil mengikrarkan kaul kekal atau bahkan ditahbiskan menjadi imam.
Mereka yang bersarang atau “nesting”, biasanya kurang lebih dapat memenuhi kebutuhan psikologis mereka dalam hidup yang dipilihnya, tetapi tentu saja kurang berorientasi pada nilai-nilai adikodrati yang terkandung dalam tuntutan hidup religius. Dilihat dari penampilan luar, mereka menampakkan hidup yang palsu, sebab jika benar-benar ditantang dalam hidup rasuli/kerasulan mereka tidak mampu dan menjadi kecil. Mereka menunjukkan gejala lesu, acuh-tak acuh dan berpedoman asal selamat saja, asal hidup saja, jalani saja. Jadi berprinsip nebeng hidup atau ikut payung popularitas Ordo/Kongregasi. Data riset tersebut juga menunjukkan adanya korelasi antara alienasi tersebut dengan kesulitan yang dialami dalam hidup selibat. Atas dasar realitas tersebut di atas, dapat dilihat adanya berbagai macam sikap yang muncul dalam perjalanan menghayati panggilan dan hidup rohani.
Dalam konteks ini juga, perlu diberi penjelasan yang tepat, bahwa seseorang yang tidak mampu mengatasi kecendrungan homoseks atau lesbi dan jalan ketiga harus dikeluarkan dari biara (Final Document of the Special Synod of Bishops of the Low Countries). Dalam Dokumen DM no 7 (Dives in Misericordia: Ensiklik tentang belas kasih Allah) direfleksikan tentang panggilan pria dan wanita untuk membangun relasi yang saling melengkapi. Inilah salah satu prinsip antropologi yang penting, dan atas dasar ini pula perlu dibina  pria dan wanita yang melalui rahmat khusus telah rela mengikrarkan  hidup selibat demi Kerajaan Allah. Dasar antropologi yang tepat tentang kepriaan dan kewanitaan perlu untuk memperjelas identitas masing-masing yang saling melengkapi tidak  hanya dalam peranan dan fungsinya tetapi juga dalam hakekat dan arti mereka sebagai pribadi ( Dokumen Christifidelis Laici No 50). Dan sejarah hidup religius memberikan kesaksian bahwa banyak pria dan wanita baik dalam biara maupun dalam dunia, menemukan tempat yang sesuai untuk melayani Tuhan dan sesama, menemukan prasarana yang sesuai untuk mengembangkan kepriaan dan kewanitaan sampai pada kepenuhan pemahaman akan identitas masing-masing.
Berdasarkan realita yang ada, seminari yang merupakan rumah pembinaan haruslah terbuka dengan keadaan tersebut kendati masalah yang dihadapi bukan sekedar masalah mengolah kehidupan rohani namun juga harus mengolah kemanusiaannya sehingga mendukung hidup rohani dengan benar. Masalah ini tidaklah sepele karena ini menyangkut pribadi para formandi yang mau terbuka pada formator dan komunitas. Sisi lain komunitas memiliki hal yang positif dalam membangun atau membentuk pribadi yang matang secara pribadi dan sosial namun disisi lain juga komunitas sebagai kesempatan untuk memuaskan kebutuhan dari penyimpangan tersebut. Maka haruslah seminari mempelajari poin-poin penting dalam mengelolah kebutuhan manusiawi dari para formandi. Hal-hal tersebut dapat dilihat dari:
             




3. Pengaruh Psikologi Dalam Dimensi Spiritual
Psikologi secara umum sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia tanpa perkecualian siapapun dia. konsep keseluruhan tentang spirit berasal dari bahasa latin spiritus yang berarti napas. dalam dunia modern kata ini merujuk ke energy hidup dan ke sesuatu dalam diri kita yang “bukan fisik.” termasuk emosi dan karakter manusia. ini juga mencakup kualitas-kualitas vital manusia seperti energy, semangat, keberanian, dan tekad. (yang menarik adalah bahwa spirit juga berarti sejenis minuman yang dibuat melalui proses pemurnian. Perhatikan bahwa yang ditekankan di sini adalah proses pemurnian!). Spiritualitas selalu berkaitan dengan kualitas-kualitas manusia dalam kehidupan rohani yang tidak dapat dilihat dengan langsung wujudnya. Spiritulitas berkembang terus- menerus dalam diri manusia. Spiritulitas juga merupakan suatu cara hidup, himpunan dinamis pelbagai asumsi, sikap, kecendrungan, pola dan prilaku yang mencirikhaskan relasi kita dengan Allah dan dengan sesama.[6] Doa merupakan bagian dari spiritualitas tatapi merupakan bagian yang sangat penting. Model doa menjelaskan banyak hal tentang kepribadian serta hidup rohani kita. spiritulitas yang berbeda-beda diungkapkan dalam belbagai jenis doa yang berbeda.
Aktualisasi diri adalah tahap  pencapaian terakhir menurut psikolog Amerika yaitu Ambraham Maslow, kebutuhan akan hidup rohani merupakan salah satu kebutahan manusia. Abraham Maslow menemukan bahwa , tidak peduli dari bangsa mana seorang berasal atau di mana pun ia berada, siapa pun tetap membutuhkan aspek kehidupan rohani dalam hidupnya. Abraham Maslow juga mendefinisikan diri sebagai tahap spiritual, yakni tahap ketika seseorang dapat mencurahkan kreativitasnya dengan santai, senang, toleran dan merasa terpanggil untuk membantu orang laian mencapai kebijaksananan dan kepuasan seperti yang telah dialaminya.[7] Dengan demikian psikologi sangat berpengaruh bagi kehidupan spiritual manusia.
Psikologi berpengaruh langsung terhadap perkembangan spiritualitas manusia yaitu dapat kita ketahui dari kehidupan sehari-harinya. Dalam hal ini psikologi dalam ranah perasaan/emosi. Jika seseorang dalam keadaan emosi maka perasaan itu turut berpengaruh dalam kehidupan spiritualnya yaitu kehidupan doannya. Misalnya tidak dapat berdoa dengan baik karena tidak konsentrasi. Demikian juga jika dalam keadaan senang, bahagia maka perasaan itu turut mempengaruhi diri kita untuk dapat berdoa dengan baik. Dalam lingkup kehidupan biarawan/biarawati khususunya sebagai calon imam pengaruhnya dapat berdampak pada kegiatan-kegiatan yang dilalui sehari-hari. Semuannya dapat kita ketahui dari prilakunya secara langsung.

4. Pengaruh Psikologi Dalam Dimensi Intelektual
4.1 Pengertian Intelektual / Intelegensi
Menurut buku " A Comprehensive Dictionary of Psichological and Psychoalitical Terms", istilah intellect berarti antara lain: (1) Kekuataan mental dimana manusia dapat berpikir; (2) suatu rumpun nama untuk proses kognitif, terutama untuk aktivitas yang berkenaan dengan berpikir ( misalnya menghubungkan, menimbang, dan memahami); dan (3) kecakapan, terutama kecakapan yang tinggi untuk berpikir; (bandingkan dengan intelligence. Intelligence = intellect). Menurut kamus Webster New World Dictionary of the American Language, istilah intellect berarti:
  1. Kecakapan untuk berpikir, mengamati atau mengerti; kecakapan untuk mengamati hubungan-hubungan, dan sebagainya. Dengan demikian kecakapan berbeda dari kemauan dan perasaan,
  2. Kecakapan mental yang besar, sangat intellegence, dan
  3. Pikiran atau inteligensi.
Jadi istilah inteligensi menurut para ahli diantaranya menurut Wechler (1958) merumuskan intelligensi sebagai "keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Intelegensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendiskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual. Dalam mengartikan intelegensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam. Dalam mengartikan inteligensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam. Diantaranya menurut C.P. Chaplin (1975) mengartikan inteligensi itu sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.
Dengan menggunakan hasil pengukuran test inteligensi yang mencakup general (Infomation and Verbal Analogies, Jones and Conrad (Loree, 1970 : 78) telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan Inteligensi, yang dapat di tafsirkan antara lain sebagai  berikut:
  1. Laju perkembangan Inteligensi pada masa remaja-remaja berlangsung sangat pesat,
  2. Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu[8].
Ditinjau dari perkembangan kogninif menurut piaget, masa remaja sudah mencapai tahap operasi formal (operasi = kegiatan-kegiatan mental tentang berbagai gagasan). Remaja, secara mental telah dapat berfikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak dengan kata lain, berfikir operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah dari pada berfikir kongkrit.
Menurut konsepsi inteligensi ini adalah persatuan (kumpulan yang di persatukan) daripada daya-daya jiwa yang khusus. Karenna itu pengukuran mengenai inteligensi juga dapat di tempuh dengan cara mengukur daya-daya jiwa khusus itu, misalnya daya mengamati, daya mereproduksi, daya berfikir dan sebagainya. konsep-konsep yang timbul dari keyakinan, bahwa apa yang di selidiki (di test) dengan test inteligensi itu adalah inteligensi umum. Jadi inteligensi diberi defenisi sebagai taraf umum yang mewakili daya-daya khusus.

4.2 Hubungan Intelek Dengan Tingkah Laku pada Diri Religius
Kemampuan berfikir abstrak menunjukkan perhatian seseorang terhadap kejadian dan peristiwa yang tidak kongkrit, misalnya ; pilihan pekerjaan, corak hidup bermasyarakat, pilihan pasangan hidup yang sebenarnya masih jauh didepannya. Bagi kaum religius kemampuan berfikir abstrak ini sangat penting karena kemampuan abstrak akan berperan dalam perkembangankepribadiannya.
            Kemampuan abstraksi mempermasalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semestinya menurut alam pikirannya. Dari situasi ini maka seorang religius dapat semakin mantap untuk menentukan abstraksi yang menjadi komitmen dan pilihan hidupnya, yaitu:
1.      Cita-cita dan idealisme yang baik,  tidak terlalu menitik-beratkan pikiran sendiri dan lebih memikirkan akibat lebih jauh, dan memperhitungkan kesulitan-kesulitan yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
2.      Kemampuan berpikir dengan pendapat sendiri, dan bisa menerima pendapat dan penilaian orang lain.
 Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka egosentrisme berkurang. Pada akhirnya pengaruh egosentrisitas sangat kecil, sehingga dapat berpikir abstrak dengan mengikut sertakan pandangan dan pendapat
orang lain.

4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi perkembangan Intelek
Dalam hubungannya dengan perkembangan intelegensi/kemampuan berpikir, ada yang berpandangan bahwa adalah keliru jika IQ dianggap bisa ditingkatkan, yang walaupun perkembangan IQ dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Menurut Andi Mappiare (1982: 80) hal-hal yang mempengaruhi perkembangan intelek itu antara lain:
  1. Bertambahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang sehingga ia mampu berpikr reflektif.
  2. Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah sehingga seseorang bisa berpikir proporsional.
  3. Adanya kebebasan berpikir,menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan, dan menunjang keberanian anak memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.
Tiga kondisi di atas sesuai dengan dasar-dasar teori Piaget mengenai perkembangan intelegendi,
yakni:
  1. Fungsi intelegensi termasuk proses adaptasi yang bersifat biologis.
  2. Berkembangnya usia menyebabkan berkembangnya struktur intelegensi baru, sehingga pengaruh pula terhadap terjadinya perubahan kualitatif.
Wechsler berpendapat bahwa keseluruhan intelegensi seseorang tidak dapat diukur. IQ adalah suatu nilai yang hanya dapat ditentukan secara kira-kira karena selalu dapat terjadi perubahan-perubahan berdasarkan faktor-faktor individual dan situasional.
Terjadinya perkembangan individu bukan hanya perkembangan pada biologisnya semata akan tetapi juga berkembang pada mental dan kepribadiannya. yang tercakup dalam perkembangan individual yaitu kecerdasan, emosional dan intelektualnya termasuk perkembangan bahasanya. Tatkala kita membahas tentang perkembangan individu dalam proses formatio/pembelajaran maka akan kita dapatkan ranah-ranah atau domain-domain : kognitif, afektif dan psikomotorik, sebagai alat untuk mengukur berhasil tidaknya proses formatio/pembelajaran.

5. Pengaruh Psikologi Dalam Dimensi Pastoral
            Semua proses pendidikan calon imam diarahkan kepada hidup kerasulan si calon tersebut. Selama masa pendidikan, kematangan pribadi terus diolah. Hal ini akan berdampak kepada hidup kerasulan calon imam tersebut. Dalam konsili Vatikan II secara jelas dikatakan bahwa psikologi sebagai alat bantu selama proses pendidikan calon imam[9]. Sesesorang harus menggunakan seni belajar yang tidak hanya secara teoritis tetapi praktis di tengah-tengah umat. Kegiatan praktis inilah yang disebut sebagai hidup kerasulan/pastoral. Selama proses pendidikan, seseorang diinisiasikan kepada karya kerasulan/pastoral. Kaum klerus dan religius karena tugas pelayanan yang mereka laksanakan mempunyai tanggung jawab untuk melindungi, menghormati dan meningkatkan serta menjunjung tinggi martabat setiap orang.[10] Oleh sebab itu, ia harus mengenal gejala-gejala yang muncul dalam dirinya ketika harus berinteraksi dengan orang lain.
Jelas bahwa kerasulan yang diembannya akan berhadapan dengan realitas sosial. Realitas sosial merupakan wadah untuk dia mengaktualisasikan dirinya. Bentuk aktualisasi diri dikonkretisasikan melalui hubungan dengan yang lain. Hubungan ini disebut sebagai interaksi sosial. Secara jelas dikatakan dalam Konsili Vatikan II bagaimana peran interaksi sosial itu bagi calon imam, “Secara umum, kemampuan-kemampuan harus dikembangkan dalam diri siswa yang berkontribusi untuk berdialog dengan yang lain, seperti kemampuan untuk mendengarkan orang lain dan membuka hati dan pikiran mereka dalam semangat amal untuk berbagai keadaan dan kebutuhan manusia.” [11]
5.1 Interaksi sosial
Adapun pengertian dari interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekadar terjadi hubungan antara pihak-pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi. Berikut ada beberapa pengertian interaksi menurut beberapa psikolog.
Menurut Shaw interaksi adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Thibaut dan Kelley, mendefinisikan interaksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain. [12]
Menurut ilmu psikologi interaksi dengan orang lain merupakan suatu kebutuhan manusiawi. Kebutuhan- kebutuhan kita terbagi menjadi menjadi lima golongan yaitu kebutuhan jasmani, intelektuil, rohani, emosionil, dan sosial[13].
Kebutuhan sosial timbul dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kebutuhan-kebutuhan sosial ini meliputi yang pertama, penerimaan dan perhatian. Setiap orang ingin merasa diterima dan diperhatikan. Ia akan merasa jengkel, terluka perasaannya atau tersinggung apabila keperluan untuk diterima dan diperhatikan tidak terpenuhi. Dalam suatu kelompok sosial, seseorang merasa ingin diterima dengan baik. Jika hal ini tidak terjadi, ia merasa tidak tenang dan kurang berharga, bersikap memusuhi dan kaku, tidak suka bergaul. Kedua, status dan penghargaan. Kedua hal ini bertalian dengan kedudukannya di tengah-tengah orang lain. Status ingin menunjukkan bahwa dia adalah seseorang dan ingin mengangkat prestisenya di hadapan orang lain. Sedangkan penghargaan adalah hadiah atas kebajikan, perbuatan yang dihargai atau prestasi. Ketiga, ambil bagian dan kerjasama.  Setiap orang mau ambil bagian dalam kegiatan bersama orang lain. Ia akan merasa dikucilkan jika tidak diajak bekerjasama bersama dalam kelompok yang ia ikuti. Kerjasama dilakukan demi suatu tujuan yang sama. Sehingga ini membuat seseorang merasa bangga jika tujuan itu dicapai dengan sukses. Keempat, persahabatan dan cinta. Tentu dalam hubungan orang lain, seseorang ingin merasa dicintai. Perasaan dicintai menciptakan suatu persahabatan dalam diri seseorang. Ia membutuhkan seorang sahabat untuk mencintainya. Ketika ia dicintai, ia merasa diterima oleh orang lain. 
Kehidupan sosial seseorang berhubungan erat dengan hidup kerasulan. Kehidupan sosial seseorang menjadi tempat bagi ia berinteraksi. Dengan demikan pengaruh psikologi  dalam kehidupan pastoral sangatlah penting. Karena kehidupan pastoral selalu berhadapan dengan orang lain (berinteraksi), seseorang calon imam tidak dapat menghindar pertemuan atau interaksi ini. Jika ia menghindar bagaimana Injil yang ingin dia sampaikan yang menjadi tugas utama kerasulannya. Bagaimana pun juga ia hidup di tengah orang lain dan untuk orang lain. Oleh sebab itu, mentalitas semacam ini harus ditanamkan dalam dirinya selama masa pembinaan dan juga harus diseimbangkan dengan kematangan kepribadiannya serta bidang pembinaan yang lain. 
            Seseorang calon imam harus diarahkan kepada kedewasaan sosial. Jika ia sudah dewasa dalam hidup sosial, maka hidup kerasulannya pun bisa dikatakan baik dan tidak menjadi emblem-emblem bagi hidupnya maupun tarekat, kongregasi/tarekat yang dengannya ia ada. Kedewasaan sosial meliputi tiga segi[14]:
  1. Tahu memilih apa yang harus diperbuat dalam situasi yang berlainan.
  2. Ambil bagian dalam kegiatan bersama yang beraneka ragam, mempelajari keahliannya untuk masing-masing kegiatan itu.
  3. Sadar akan tanggung jawab terhadap orang lain supaya dapat hidup bersama secara harmonis.
Kedewasaan sosial mengandung implikasi: tutur kata yang baik, kesopanan, perhatian kepada orang lain, keramahan, kerjasama, pengorbanan, penguasaan, penguasaan perasaan dan pengetahuan serta kemampuan menyatakan dan melakukan apa saja pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat. Seseorang dewasa secara sosial jika ia bertindak sebagai pria atau wanita yang dewasa dalam berbagai kelompok di mana ia menjadi anggotanya.

5.2 Gejala-gejala psikologis dalam hidup kerasulan
            Sumbangan psikologi bagi hidup kerasulan/pastoral dalam panggilan yaitu untuk mengenal gejala-gejala psikologis yang ada dalam kepribadian seseorang. Gejala-gejala ini berkaitan dengan interaksinya ketika harus bersosialisasi dengan orang lain. Psikologi sangat membantu seseorang untuk lebih mengenal siapa dirinya melalui tingkah lakunya ketika berada bersama umat. Maka gejala-gejala psikologis perlu diketahui. Dan psikologi membantu kita menemukan gejala-gejala yang ada. Secara lebih dalam mari kita lihat gejala-gejalanya.
  1. Takut dalam bergaul
Berhadapan dengan orang lain tidaklah mudah. Ada orang yang dengan mudah cepat akrab dengan orang yang baru dia kenal. Ada juga orang yang sulit dalam pergaulan (menerima orang lain). Orang yang seperti ini kemungkinan mengalami ketakutan ketika harus bertemu dengan orang lain. Gejala ketakutan yang dialami tersebut merupakan gangguan psikologis. Rasa takut terhadap orang lain menjadi keresahan dalam berhubungan dengan orang lain. berbagai jenis ketakutan dalam berhubungan dengan orang lain, misalnya rasa takut dipermalukan, rasa takut untuk menghadapi tatapan mata orang, kecemasan dalam tubuhnya, kecemasan akan bau badan sendiri, dan lain sebagainya. [15] orang semacam ini cenderung menarik diri dan sulit didekati. Ia tidak mempunyai inisiatif untuk berbicara lebih awal ketika berhadapan dengan orang lain. ia cenderung kaku dan pemalu.
  1. Berprasangka negatif
Berprasangka negatif muncul apabila seseorang merasa tidak dibutuhkan, tidak pantas dicintai, dan tidak bisa apa-apa.[16] Kecenderungannya yaitu dia sering menghindari penolakan.  Kerap kali komentar yang netral atau sikap yang biasa saja dianggap sebagai ejekan. Karena bersikap negatif terhadap orang lain, maka dia juga akan bersikap agresif dan penuh kecurigaan dalam berelasi dengan orang lain. Apabila ada penilaian terhadap dirinya yang sangat negatif, ia akan bersikap defensif dan banyak menggunakan mekanisme pertahanan untuk menutupi kekurangan dan hal-hal negatif dalam dirinya. Terkadang ia melemparkan kesalahan kepada orang lain. Seseorang yang memiliki citra diri yang negatif dapat merugikan perkembangan dalam hidupnya. Terutama pergaulan dengan orang lain mengalami banyak hambatan. Sehingga orang tersebut sulit untuk bergaul dengan orang lain dan orang lain juga merasa tidak nyaman ketika berada di sampingnya.
  1. Motivasi yang tidak jelas.
Dalam hidup kerasulan kaum religius motivasi dalam hidup kerasulan perlu diperhatikan. Motivasi terdiri dari motif palsu dan motif asli.[17]  Berhubungan dengan motivasi, ada yang dimaksud dengan motif palsu atau penyimpangn dari motif awal. Kerasulan kerapkali menjadi sarana untuk mengungkapkan alasan yang baik maupun tidak baik. Sehingga tidak mengherankan kalau ada masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan religius, misalnya, pelecehan seksual dalam kalangan religius. Mungkin motivasi awal adalah ingin melayani. Namun kenyataannya kematangan seksualitasnya tidak diolah secara baik maka kerasulan yang dia lakukan terjadi penyimpangan. Hal ini perlu disadari bahwa dalam pembinaan calon imam perlu melihat motivasi dari si calon. Panggilan sebagai imam bukanlah berasal dari motivasi yang ingin menggunakan jabatan sebagai sarana untuk memuaskan kehidupan seksualnya. Melihat banyak kejadian pelecehan seksual oleh para imam yang sudah terlanjur ditahbiskan, maka bagi yang belum ditahbiskan perlu diolah secara matang sehingga kejadian yang telah terjadi tidak akan terulang lagi. 

6. Penutup
Psikologi dapat memberi masukan yang berharga dalam pembinaan calon imam, demi mengembangkan dalam diri mereka kepribadian yang seimbang. Bantuan yang ditawarkan dalam ilmu psikologi dipadukan dalam konteks yang menyeluruh dari pembentukan calon. Adanya kontak dengan Psikologis dalam pembinaan calon imam ini memungkinkan evaluasi yang lebih pasti tentang keadaan psikologis calon ; membantu evaluasisifat-sifat manusiawinya dalam merespon panggilan ilahi; dan dapat memberi bantuan tambahan untuk pertumbuhan manusiawi dari calon. . Oleh karena itu semua aspek pembinaan rohani, intelektual, kematangan manusiawi, dan komunitas hendaknya secara terpadu diarahkan kepada tujuan pastoral.
Bantuan ilmu psikologis sangat berguna sekali dalam proses formasi. Setidaknya ada dua unsur penting yang terbantu oleh ini adalah formator dan formandi sendiri. Bagi formator, ilmu psikologi sangat membantu untuk memahami seorang formandi secara keseluruhan sebagai seorang manusia. Dengan pemahaman yang memadai dan menyeluruh mengenai pribadi manusia, formator akan mampu mengarahkan para formandi pada kedewasaan dan kepenuhan. Di samping itu juga, ilmu psikologi ini membantu para formator untuk mendeteksi gejala-gejala cacat psikis para formandi secara awal dalam proses formasi.[18] Dengan ini, proses formasi akan mampu melahirkan sosok imam yang benar-benar bermutu.
























DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Buzan, Tony. 2003. Menjadi Manusia Spiritual. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Charles. 2001. Doa dan Kepribadian. Yogyakarta: Kanisius.
Doi, Takeo. 1992. Anatomi Dependensi; Telaah Psikologi Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dokumen Konsili Vatikan II. “Optatam Totius” (OT) dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj.J. Riberu. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – OBOR, 1982.
          . “Pastores Dabo Vobis” (PDV) dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj.J. Riberu. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – OBOR, 1982.
Fernando, Guillen. 2009. Vocation, Consecration, Formation, Doing Discerment. Philippines: Claretian Publication.
Hadisubrata, M. S. 1990. Mengembangkan Citra Diri yang Positif. Jakarta: Obor.
Heuken, Adolf, dkk. 1976. Tantangan Membina Kepribadian. Yogyakarta: Kanisius.
Komite Nasional Standar Profesional Konferensi Waligereja Australia dan Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Australia, Integritas dalam Pelayanan: Prinsip-prinsip dan Standar-standar Pelayanan. Diterjemahkan oleh Ignatius L. Madya Utama. 2011. Yogyakarta: Pusat pastoral Yogyakarta dan Penerbit Kanisius.
Mardi, Prasetyo F. 1995. Pengolahan Hidup Beriman.  Yogyakarta: Puspita.
Nuhrisan, Juntika. 2007. Buku Materi Pokok Perkembangan Peserta didik. Bandung; Sekolah Pasca Sarjana (UPI).
Pranata, J. widajaka. 2000. Psikologi Umum dan Psikologi Dinamika (Diktat Kuliah).
Rulla, L.M. 1971. Depth Psychology and Vocation. Rome: Gregorian University Press and Chicago, Loyola University Press.
Suparno, Paul. 2007. Seksualitas Kaum Berjubah. Yogyakarta: Kanisius.
Venancio, Calpotura. 2007. Formative Spirituality. Philippines: Jesuit Communications Foundation, Inc.



Majalah:
Arbuckle, G. Initial Formation: Anthropological Insight into 60’s and 70.  in USIG Bulletin, 1984,  hlm. 65.
Allen, P.J. Chillhood Backgroud and Success in Profession, in American Sociological Review (ASR), 1955.

Internet:
American Psychological Association. Guidelines for The Use of Psychology in The Admission and Formation of Candidates for The Priesthood, art 2, http:// www.vatican.va/ roman_curia/congregations/ccatheduc/documents/rc_con_ccatheduc_doc_20080628_orienta- menti_ en.html,  diakses tgl 18 November 2011.
American Psychological Association. Guidelines for The Use of Psychology in The Admission and Formation of Candidates for The Priesthood, http:// www.vatican.va/ roman_curia/ congregations/ ccatheduc/ documents/ rc_ con_ ccatheduc_ doc_2 0080628_ orientamenti_ en.html,  diakses tgl 18 November 2011.
Damianus Dowa. Pengertian interaksi sosial, http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/, diakses pada tanggal 14 November 2011.
Formation Consulation Service. www.fcs-bilotta.com, diakses tgl 17 November 2011.















[1]Bdk. Pastores Dabo Vobis art. 5.
[3] Formation Consulation Service. www.fcs-bilotta.com, diakses tgl 17 November 2011.
[4]American Psychological Association. Guidelines for The Use of Psychology in The Admission and Formation of Candidates for The Priesthood, art 2,http:// www.vatican.va/ roman_curia/ congregations/ ccatheduc/ documents/ rc_con_ccatheduc_doc_20080628_orientamenti_en.html diakses tgl 18 November 2011.
[5] Paul Suparno, SJ, Seksualitas Kaum Berjubah, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 83.
[6] Bdk. Dr.Charles. Doa dan Kepribadian. Yogyakarta: Kanisius.  2001,  hlm. 87.

[7]Bdk. Tony Buzan.  Menjadi Manusia Spiritual. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2003,  hlm. 21.
[8] Juntika Nuhrisan. Buku Materi Pokok Perkembangan Peserta didik, Bandung; Sekolah Pasca Sarjana (UPI). 2007.

[9] KV II, Optatam Totius. Art. 20.
[10]Lih. Komite Nasional Standar Profesional Konferensi Waligereja Australia dan Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Australia, Integritas dalam Pelayanan: Prinsip-prinsip dan Standar-standar Pelayanan. Diterjemahkan oleh Ignatius L. Madya Utama (Yogyakarta: Pusat pastoral Yogyakarta dan Penerbit Kanisius, 2011), hlm. 25.
[11] KV II, Optatam Totius. Art. 19.
[12]Damianus Dowa. Pengertian interaksi sosial, http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/, diakses pada tanggal 14 November 2011.
[13]Adolf Heuken S.J., dkk. Tantangan Membina Kepribadian. Yogyakarta: Kanisius. 1976, hlm. 25.
[14] Ibid, hlm. 52.
[15]Takeo Doi, M.D. Anatomi Dependensi; Telaah Psikologi Jepang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1992, hlm. 113.
[16]Bdk. M. S. Hadisubrata. Mengembangkan Citra Diri yang Positif. Jakarta: Obor.1990, hlm. 18.
[17]Bdk. Drs. J. widajaka Pranata  CM., Lic. Ed. 2000. Psikologi Umum dan Psikologi Dinamika. Diktat Kuliah, hlm. 18-19.
[18] Ibid, art 2.

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...