Sabtu, 15 Oktober 2011

Filsafat Aku-liyan


Pengantar

Eksistensi manusia merupakan sebuah kesadaran akan esensinya di dunia. Esensialitas manusia membutuhkan kesadaran akan keberadaannya.  Keberadaan manusia dinyatakan oleh Rene Descartes dengan slogan 'aku berpikir maka aku ada' (cogito ergo sum). Aktivitas berpikir manusia menjadi suatu permenungan akan keberadaan dirinya, ia “ada”. Ketika manusia itu berpikir mengenai keberadaannya maka sangat memungkinkan ia juga berpikir tentang keberadaan sesuatu yang lain yang ada bersama-sama dengannya, hidup bersamanya. Sehingga manusia merasa bahwa eksistensi dirinya juga menjadi eksistensi yang lainnya. Di sini ada keterikatan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya sebagai pemenuhan esensi dari manusia itu. .  
Ada suatu kolaborasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Dari kolaborasi ini, maka manusia dibedakan antara “aku” dan “bukan aku”. Pembedaan “aku” dan “bukan aku”, walaupun kelihatannya serupa, (tetapi) tidak sama dengan distingsi “jiwa” dan “badan”.[1] Namun “aku” dan “bukan aku” saling melengkapi.

Keberadaan “Aku”
Aku adalah keseluruhan, keutuhan manusia. Eksistensi manusia adalah “aku”. [2]  Kesadaran  akan “aku” berarti menyadari eksistensi dan keberadaan “aku”. Kesadaran ini pertama-tama yaitu dengan know your self. Self (diri) menjadi bagian dari realitas ke”aku”annya aku. Menyadari realitas “aku” dengan melalui suatu permenungan akan self  berarti menjadi “aku” abstrak. “Aku” abstrak itu terlibat dalam ruang dan waktu sehingga membuat “aku” sadar akan dirinya. keberadaan “aku” bukanlah sesuatu yang maya melainkan sebuah refleksi akan keberadaannya. Sifat kesadaran ini diistilahkan dengan sifat intensionalitas. “Aku” merasakan keberadaanku karena ada suatu permenungan akan eksistensiku.
Ketika “aku” menjadi kesadaran, yang ada adalah hamparan kebenaran dan keindahan dari segala konsep dan realitas tentang keseluruhanku. Bahwa aku adalah makhluk yang berakal budi.[3] Akal budi menjadi sebuah sarana untuk merasionalisasi keberadaan “aku”. Kesadaran akan keberadaan “aku” adalah kesadaran akan keseluruhanku. Pengalaman hidup “aku” itulah keseluruhanku, bukan hanya aktivitas berpikir atau merasa. Aktivitas manusia adalah aktivitas kesadaran dirinya tentang “aku”.
Kesadaran “aku” juga menjadi suatu keindahan. Mengapa? Karena dengan kesadaran “aku” mencari jalan bagaimana ia mengaktualisasi ke”aku”annya. Bentuk aktualisasi dapat berupa suatu relasi dengan “bukan aku”. Relasi “aku” dengan “bukan aku” akan menjadikan “aku” dapat meng”aku”i “aku”ku dan yang “bukan aku”.[4]
Dari awal penciptaan “aku”, sang “Aku”, Tuhan menginginkan kesadaran “aku” ada dalam kemanusian “aku”. Dengan ini Tuhan mengatakan bahwa ciptaan yang bernama manusia sebagai “sangat baik”. Mengapa manusia dikatakan sebagai “sangat baik”? karena manusia mempunyai kesempurnaan dalam dirinya sebagai manusia yang sadar akan keadaannya yang sebenarnya, manusia yang kenal akan “sangkan-parannya”, atau asal dan tujuan hidupnya, dengan mengenal akan dirinya sendiri.[5]
Kesadaran akan keberadaannya di dunia ini dengan memiliki tujuan hidup, tidak salah kalau manusia menjadikan dirinya sebagai aku subjektif. “Aku subjektif” adalah fondasi segala bentuk kehadiran manusia dengan kekayaan relasi yang mungkin dalam hidupnya.[6] Dengan demikian kemanusian dialogalnya tercipta dalam bentuk relasinya dengan “bukan aku” untuk mengisi ruang kosong dalam dirinya. Sehingga tujuan dari hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan yang bersatu dengan “Sang Aku”.

Relasi dengan Liyan (Others)
            Konsepsi mengenai liyan kerapkali dipandang sebagai objek penderitaan. Penderitaan diartikan sebagai manusia yang mengalami ketidakadilan dan penindasan dalam konteks biologis, budaya, sosial-politis, agama, dan lain-lain. Ketidakadilan yang dialami oleh liyan mengundang setiap manusia untuk melihat esensi keberadaannya.
            Eksistensi liyan merupakan bagian dari eksistensi “aku”. Meskipun liyan dipandang sebagai penghalang, bukan berarti eksistensi “aku” menjadi kabur. Kehadiran liyan memberi peluang kepada manusia untuk membangun relasi dengannya. Penderitaan liyan tidak menjadi alasan untuk menutup relasi dengannya. Dibutuhkan relasi yang mendalam sebagai bentuk pembebasan dirinya dari penderitaan.
Keberadaan the other menjadi suatu perjumpaan di mana saya tidak bisa lari dari padanya. Dalam diri liyan aku menemukan kesadaran eksistensiaku. Liyan merupakan kesadaranku. Dengan berada di tengah kerumunan yang lain, kesadaran eksistensialku muncul. Munculnya kesadaran aku berarti manusia mengenal dirinya. Manusia baru mulai mengenal diri sebagai aku berkat hubungannya dengan sesamanya. Sehingga betapa pentingnya menjalin relasi dengan yang lain (the other).
Setelah melihat pengertian liyan dan pentingnya relasi antara aku dan liyan, eksistensi aku akan menjadi absurd jika tidak ada ketergerakkan untuk menolongnya. Dalam filsafat cina dikatakan bahwa manusia yang mengikuti Dao (realitas dalam kehidupan manusia) akan memberikan pertolongan jika orang lain membutuhkan. Ia menolong mereka menjadi bebas.[7] Realitas dalam kehidupan manusia itu adalah penderitaan liyan. Memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan akan membangun suatu persahabatan yang eksistensialis. Dalam dunia eksistensialis, the other bukanlah suatu penolakan atau resistensi terhadap yang lain. Seseorang akan menyadari eksistensinya jika ia menemukan diri (self) sebagai manusia untuk sesamanya. “I am called to realize myself in the world, but for you. The encounter with you reveals to me my destiny as destiny-for-you”.[8]  

Penutup
Eksistensi manusia adalah koeksistensi yaitu “ada-bersama”. Manusia “ada-bersama” karena ada keterikatan dengan yang lain. Keterikatan ini terjadi antara “aku” dan liyan. Keterikatan “aku” dan liyan menjadi suatu parelisasi distingsi esensinya masing-masing. Letak pararelismenya yaitu ketika ‘aku” menemukan keutuhan eksistensiku dalam diri liyan. Kehadiran liyan juga sebagai pemenuhan eksistensinya. Ia juga memiliki sangkan-paran hidup. Setiap diri (self) akan dengan mudah mengenal hidupnya.
Sesama manusia adalah subjek sama seperti aku. Relasi subjek-objek berbeda dengan relasi subjek-subjek. Untuk relasi subjek-subjek dipakai istilah antarsubjektivitas atau intersubjektif. Untuk relasi intersubjektif berlaku pertemuan, dialog, pergaulan, partisipasi, cinta, harapan, dan kepercayaan. Bentuk relasi yang demikian akan membawa kesadaran yang penuh dari setiap masing-masing self. Dengan demikian sudah jelas bahwa Relasi “aku” dan liyan  tidak terlepas dari ruang dan waktu. Eksistensi mereka yaitu membentuk suatu persahabatan yang eksistensialis. Tidak ada penolakan antara “aku” dan liyan. “Aku” ada kerena ada liyan yang bersama dengan aku. Sehingga letak keberadaanku adalah melihat, merasakan, dan menolong penderitaan dalam diri liyan. Tindakan yang demikian adalah bukti bahwa kesadaran aku ada karena gerak akal budiku sebagai manusia. 



[1] Prof. Dr Armada Riyanto, CM, dkk. Aku & Liyan, Malang:Widya Sasana Publication, 2011, hlm. 4.
[2] Ibid.
[3] Ibid, hlm. 8.
[4] Prof. I.R. Poedjawijatna. Manusia Dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Jakarta: Bina Aksara,1981, hlm. 88.
[5] Dr. Harun Hadiwijoyo. Konsepsi Tentang Manusia Dalam kebatinan Jawa. Jakarta:Sinar Harapan,1983,hlm.100.
[6] Ibid, no.1, hlm. 15.
[7] Bdk. Bagus Takwin, Filsafat Timur, Yogyakarta:Jala Sutra, 2001,hlm.68.
[8] Adelbert Snijders, OFM Cap, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan, Yogyakarta:Kanisius,2010, hlm.30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...