Kamis, 01 September 2011

Makna Penantian

Mencari Makna Penantian

Henri J.M. Nouwen
By. Fr. Habel Melki Makarius, CM


            Banyak orang berpendapat bahwa menanti adalah sikap pasif atau sama dengan membuang-bunag waktu. Pemahaman demikian ini disebabkan oleh budaya kita yang lebih cenderung mengukur segala sesuatu berdasarkan hasil yang tampak.

            Menanti bukanlah sikap yang populer. Pada umumnya menanti bukanlah hal yang menyenangkan. Bagi banyak orang menanti berarti berada di padang gurun. Padang gurun itu terletak di antara tempat berada mereka sekarang dengan tempat kemana mereka akan pergi.
            Pada jaman kita sekarang ini menunggu masih lebih sulit lagi karena kita merasa takut. Orang takut akan rasa hatinya sendiri, takut akan orang lain, takut akan masa depan. Orang yang hidup dalam suasana takut lebih cenderung untuk memberikan tanggapan yang agresif, bermusuhan dan destruktif dibandingkan dengan orang yang tidak diliputi rasa takut. Semakin kita takut, semakin sulit pula kita menanti. Itulah sebabnya tidak banyak orang yang sabar menanti.
            Contoh pribadi-pribadi dalam Injil Lukas yang sabar menanti adalah Zakharia dan Elisabet, Maria, dan Simeon dan Hana. Panggung Injil Lukas dipenuhi dengan pribadi-pribadi yang menanti. Mereka pertama kali mendengar sapaan malaikat yaitu “Jangan takut”. Mereka menanti datangnya sang Mesias. Dan mereka pula sisa-sisa Israel yang percaya bahwa Mesias akan datang.
            Sebagaimana dapat kita lihat dalam diri pribadi-pribadi yang tampil pada bab-bab awal Injil, menanti berarti mengharapkan terpenuhiya janji-janji. Orang yang menanti adalah orang-orang yang menerima janji. Inilah yang membuat mereka mampu menanti. Oleh karena itu, menanti tidak pernah berarti menanti sesuatu yang bergerak dari yang tidak ada menjadi ada. Menanti selalu menunjuk pada suatu gerak dari sesuatu menuju sesuatu yang lebih.  
            Kedua, menanti adalah sikap aktif. Banyak orang berpikir bahwa menanti adalah sesuatu yang amat pasif. Orang yang menanti tidak mempunyai harapan karena ia ditentukan atau tergantung pada peristiwa-peristiwa yang tidak dapat ia kuasai. Dalam Kitab Suci, sikap pasif yang menunggu tidak kita jumpai. Yang kita jumpai adalah pribadi-pribadi yang menanti dengan amat aktif. Rahasia penantian adalah keyakinan bahwa benih sudah ditaburkan, bahwa sesuatu sudah mulai dan sedang terjadi. Menunggu secara aktif berarti hadir secara penuh “kini dan di sini” karena yakin ada sesuatu yang sedang terjadi pada saat ini dan tempat ini, dan Anda ingin mengalaminya.
            Orang yang menanti adalah orang yang sabar. Kata “sabar” berarti kesediaan untuk tinggal di tempat kita berada, menghayati kenyataan itu secara penuh karena yakin bahwa sesuatu yang tersembunyi akan menampakkan diri kepada kita. Hidup yang sabar berarti hidup secara aktif “kini dan di sini” dan menanti.
            Penantian mempunyai akhir yang terbuka. Penantian dengan akhir yang terbuka seperti ini tidak mudah bagi kita karena cenderung untuk menantikan sesuatu yang amat konkret, sesuatu yang ingin kita miliki. Penantian-penantian kita pada umumya disertai dengan berbagai keinginan. Menanti dengan tetap menerima akhir yang terbuka adalah sikap yang sungguh radikal terhadap kehidupan. Menanti dengan sikap ini berarti percaya bahwa sesuatu yang tidak mampu kita bayangkan akan terjadi pada kita. Orang yang demikian melepaskan keinginan untuk menguasai masa depannya dan membiarkan Allah yang menentukannya. Hidup rohani adalah hidup di mana kita menanti, secara aktif dan hadir “kini dan di sini”, sambil menanti bahwa hal-hal baru itu jauh melampaui yang dapat kita bayangkan dan perhitungkan. Ini adalah suatu sikap radikal terhadap kehidupan, yang perlu dibangun dalam dunia yang selalu ingin mengatur, menguasai, dan menentukan.
            Sikap menanti diwujudkan dalan hidup doa. Doa adalah latihan hidup rohani di mana kita menanti dan berserah kepada kehendak Allah. Selanjutnya sikap penantian kita selalu dibangun dengan kesiapsiagaan kita mendengarkan sabda. Menanti berarti yakin bahwa seseorang akan menyapa kita. Simon Weil, seorang penulis Yahudi berkata “Menanti dengan sabar sambil berharap adalah landasan hidup rohani.”
            Dalam sebuah buku yang berjudul The Stature of Waiting, ditulis oleh seorang berkebangsawan Inggris, V. H. Vanstone. Ia menulis mengenai penderitaan Kristus di Taman Getsemani dan Jalan salibNya. Tulisan ini memberi arti bahwa sikap penantian adalah beralih dari bergiat (action) masuk ke dalam penderitaan (passion). Menderita adalah sebentuk penantian-penantian apa yang akan dilakukan orang lain. Yesus saat tergantung pada kayu salib memberi arti bahwa Ia menanti dengan ucapanNya “sudah selesai”.
            Allah dalam diri Yesus Kristus menantikan tanggapan kita terhadap kasih ilahi-Nya, lalu kita dapat menemukan perspektif baru dalam menanti. Kita dapat belajar menjadi orang yang taat, yang tidak selalu ingin kembali berkarya atau bergiat, tetapi mampu menangkap kepenuhan hidup kita sebagai manusia dalam penderitaan, dalam penantian. Dengan demikian, spiritualitas menanti tidak hanya berisi penantian kita akan Allah, tetapi juga keikutsertaan kita dalam penantian Allah akan kita. Dengan cara itu kita ikut merasakan kasih yang paling dalam, yaitu kasih Allah sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...