Sabtu, 29 Oktober 2011

Psikologi sosial

Akibat perubahan Fisik yang semakin menua maka perubahan ini akan sangat berpengaruh terhadap peran dan hubungan dirinya dengan lingkunganya. Dengan semakin lanjut usia seseorang secara berangsur-angsur ia mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial para lansia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitasnya sehingga hal ini secara perlahan mengakibatkan terjadinya kehilangan dalam berbagai hal yaitu: kehilangan peran ditengah masyarakat, hambatan kontak fisik dan berkurangnya komitmen.
Menurut Erikson, perkembangan psikososial masa dewasa akhir ditandai dengan tiga gejala penting, yaitu keintiman, generatif, dan integritas.
1.   Perkembangan Keintiman
Keintiman dapat diartikan sebagai suatu kemampuan memperhatikan orang lain dan membagi pengalaman dengan mereka. Orang-orang yang tidak dapat menjalin hubungan intim dengan orang lainakan terisolasi. Menurut Erikson, pembentukan hubungan intim ini merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh orang yang memasuki masa dewasa akhir.
2.   Perkembangan Generatif
Generativitas adalah tahap perkembangan psikososial ketujuh yang dialami individu selama masa pertengahan masa dewasa. Ketika seseorang mendekati usia dewasa akhir, pandangan mereka mengenai jarak kehidupan cenderung berubah. Mereka tidak lagi memandang kehidupan dalam pengertian waktu masa anak-anak, seperti cara anak muda memandang kehidupan, tetapi mereka mulai memikirkan mengenai tahun yang tersisa untuk hidup. Pada masa ini, banyak orang yang membangun kembali kehidupan mereka dalam pengertian prioritas, menentukan apa yang penting untuk dilakukan dalam waktu yang masih tersisa.
3.   Perkembangan Integritas
Integritas merupakan tahap perkembangan psikososial Erikson yang terakhir. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda, orang-orang, produk-produk dan ide-ide, serta setelah berhasil melakukan penyesuaian diri dengan bebrbagai keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupannya. Lawan dari integritas adalah keputusan tertentu dalam menghadapi perubahan-perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi-kondisi sosial dan historis, ditambah dengan kefanaan hidup menjelang kematian.
Tahap integritas ini ini dimulai kira-kira usia sekitar 65 tahun, dimana orang-orang yang tengah berada pada usia itu sering disebut sebagai usia tua atau orang usia lanjut. Usia ini banyak menimbulkan masalah baru dalam kehidupan seseorang. Meskipun masih banyak waktu luang yang dapat dinikmati, namun karena penurunan fisik atau penyakit yang melemahkan telah membatasi kegiatan dan membuat orang tidak menrasa berdaya.
Terdapat beberapa tekanan yang membuat orang usia tua ini menarik diri dari keterlibatan sosial: (1) ketika masa pensiun tiba dan lingkungan berubah, orang mungkin lepas dari peran dan aktifitas selama ini; (2) penyakit dan menurunnya kemampuan fisik dan mental, membuat ia terlalu memikirkan diri sendiri secara berlebihan; (3) orang-orang yang lebih muda disekitarnya cenderung menjauh darinya; dan (4) pada saat kematian semakin mendekat, oran ingin seperti ingin membuang semua hal yang bagi dirinya tidak bermanfaat lagi.

Interaksi Sosial. Homans ( dalam Ali, 2004: 87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya.
Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.

Interaksi Sosial Menurut Shaw

http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/

Sedangkan menurut Shaw, interaksi adalah suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain.
Thibaut dan Kelley, mendefinisikan interaksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
Pengertian Interaksi sosial menurut Bonner ( dalam Ali, 2004) merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.
Pengertian Interkasi sosial menurut beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, interaksi sosial adalah hubungan timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi.

Interaksi Sosial menurut menurut Shaw (Ali,2004:87) merupakan suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan seseorang dalam suatu interaksi merupakan stimulus bagi individu lain yang menjadi pasangannya.

Bentuk- Bentuk Interaksi Sosial

http://belajarpsikologi.com/bentuk-bentuk-interaksi-sosial/

Ada beberapa bentuk interaksi social, menurut Park dan Burgess (Santosa,2004:12) bentuk interaksi sosial dapat berupa:
a. Kerja sama
Kerja sama ialah suatu bentuk interaksi sosial dimana orangorang atau kelompok-kelompok bekerja sama Bantumembantu untuk mencapai tujuan bersama. Misal, gotongroyong membersihkan halaman sekolah.
b. Persaingan
Persaingan adalah suatu bentuk interaksi sosial dimana orangorang atau kelompok- kelompok berlomba meraih tujuan yang sama.
c. Pertentangan.
Pertentangan adalah bentuk interaksi sosial yang berupa perjuangan yang langsung dan sadar antara orang dengan orang atau kelompok dengan kelompok untuk mencapai tujuan yang sama.
d. Persesuaian
Persesuaian ialah proses penyesuaian dimana orang- orang atau kelompok- kelompok yang sedang bertentangan bersepakat untuk menyudahi pertentangan tersebut atau setuju untuk mencegah pertentangan yang berlarut- larut dengan melakukan interaksi damai baik bersifat sementara maupun bersifat kekal.
Selain itu akomodasi juga mempunyai arti yang lebih luas yaitu, penyesuaian antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara seseorang dengan kelompok, antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
e. Perpaduan
Perpaduan adalah suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat di antara individu atau kelompok. Dan juga merupakan usaha- usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

Sabtu, 15 Oktober 2011

PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP HOMOSEKSUAL


Pengantar
Zaman sekarang ini, banyak orang yang mengalami sesuatu yang aneh pada orientasi seks dirinya. Ada yang merasa bahwa dirinya normal baik sebagai perempuan maupun laki-laki. Ada pula yang merasa bingung dan tidak percaya akan kelainan orientasi seksnya. Dan ada lagi yang benar-benar merasa nyaman terhadap kelainan seks dalam hidupnya. Problema seperti ini terutama bagi banyak kaum yang merasa bahwa dirinya tertarik kepada sama jenis, ingin memperoleh kebebasan supaya diterima dalam lingkungan sekitarnya. Para pelaku homoseksual yang terus melakukan hubungan mereka tanpa memperhatikan akibat dari perbuatan mereka.
Tindakan para pelaku homoseksual seringkali menjadi sorotan banyak orang. Bahkan ada pihak-pihak tertentu yang mendukung perilaku ini. Sebagai contoh banyak peristiwa yang terjadi di beberapa negara barat mengijinkan pernikahan sesama jenis. Melihat keprihatinan ini, Gereja tidak ingin tinggal diam. Tindakan Gereja seperti; “Pada 18 Juni lalu, lebih dari 500.000 umat Katolik berkampanye didukung sekitar 20 uskup senior untuk menentang hukum baru di Spanyol yang mengesahkan perkawinan sesama jenis.”[1] Meskipun mayoritas Katolik, Spanyol kini merupakan negara kedua yang melegalkan pasangan homoseksual setelah Belanda dan Belgia. Mayoritas kaum Katolik di Spanyol tampaknya tidak menggubris larangan Paus. Kaum Kristen di Barat pada umumnya, memang sudah lama menghadapi dilema dan masalah berat dalam soal homoseksual. Prinsip sekular-liberal yang diimani sebagai pedoman dan pandangan hidup mereka, telah merelatifkan dan meliberalkan nilai-nilai moral. Maka, praktik homoseksual yang dikutuk oleh Kitab Suci dan para tokoh Gereja sejak dulu, kini semakin merajalela. Pihak Gereja sendiri secara khusus Gereja Katolik Roma terus saja berusaha menentang perilaku homoseksual yang diijinkan oleh beberapa negara.

 Pengertian Homoseksual
            Penyimpangan orientasi seksual seperti homoseksual tidak asing lagi kita dengar. Homoseksual dilihat dari katanya, bersaal dari kata Yunani: homoios yang berati “sama” dan Latin: sexus yang berarti “jenis kelamin”. Homoseksual merupakan pengertian umum mencakup banyak macam kecenderungan seksual terhadap kelamin yang sama, atau secara lebih halus: suatu keterarahan kepada kelamin yang sama (homotropie; tropos=arah, haluan). Persoalan homosekual pertama-tama bukan pada orang yang mencintai jenis kelamin yang sama (laki-laki mencintai laki-laki) atau mau hidup bersama dengan jenis kelamin yang sama tetapi pada ketertarikan erotis-seksual kepada jenis kelamin yang sama dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dengan jenis kelamin yang sama.

2. Aspek-aspek Homoseksual
Ketika seseorang menyebutkan homoseksual, maka kata-kata homoseksual ini dapat mengacu pada tiga aspek.[2]

2.1 Orientasi Seksual / Sexual Orientation
Orientasi seksual - homoseksual yang dimaksud disini adalah ketertarikan / dorongan / hasrat untuk terlibat secara seksual dan emosional (ketertarikan yang bersifat romantis) terhadap orang yang berjenis kelamin sama. American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa orientasi seksual berkembang sepanjang hidup seseorang.

2.2 Perilaku Seksual / Sexual Behavior
Homoseksual dilihat dari aspek ini mengandung pengertian perilaku seksual yang dilakukan antara dua orang yang berjenis kelamin sama. “Human sexual behavior encompass a wide range of activities such as strategies to find or attract partners (mating and display behavior), interactions between individuals, physical or emotional intimacy, and sexual contact.” [3]

2.3  Identitas Seksual / Sexual Identity
Sementara homoseksual jika dilihat dari aspek ini mengarah pada identitas seksual sebagai gay atau lesbian. Sebutan gay digunakan pada homoseksual pria, dan sebutan lesbian digunakan pada homoseksual wanita. Tidak semua homoseksual secara terbuka berani menyatakan bahwa dirinya adalah gay ataupun lesbian terutama kaum homoseksual yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang melarang keras, mengucilkan, dan menghukum para homoseksual. Para homoseksual ini lebih memilih untuk menutupi identitas mereka sebagai seorang gay ataupun lesbian dengan tampil selayaknya kaum heteroseksual.

3. Pandangan Moral Terhadap Pelaku Homoseksual
            Kaum homoseksual bukanlah suatu fenomena baru yang muncul dalam masyarakat pada umumnya, dan Gereja pada khususnya. Persoalan homoseksual telah muncul berabad-abad lampau bahkan telah direkam juga dalam Kitab Suci (bdk. Im 18:22, 20:13, Rm 1:26-27). Namun, keberadaan kaum homoseksual selama berabad-abad itu seperti tersembunyi, kurang muncul ke permukaan. Mengapa? Salah satunya adalah karena kaum homoseksual dipandang sebagai orang-orang yang tidak normal, yang memiliki gangguan psikis. Kaum homoseksual menjadi takut untuk membuka diri, mengungkapkan keadaan dirinya yang sebenarnya. Mereka takut dipandang “miring” atau bahkan ditolak oleh masyarakat. Kaum homoseksual mengalami banyak diskriminasi dalam kehidupan ketika mereka mengakui dan mengungkapkan keadaan diri mereka
Dalam nilai moral perbuatan homoseksual dapat disebut sebagai actus humanus. “Yang dimaksud dengan actus humanus ialah tindakan yang dapat dan harus dipertanggungjawabkan (imputabilitas).”[4] Mereka melakukan tindakan homoseksual karena mereka tahu, mau, merasa bebas, dan mampu, sehingga mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Perbuatan ini membuahkan dosa dalam dirinya.
            Tindakan homoseksual (homosexual act) itu merupakan intrinsically immoral and contrary to the natural law. Oleh karena itu dosa besar tidak pernah bisa dibenarkan dengan alasan apapun juga. Mengapa tindakan homoseksual itu tidak benar? Sebab adanya pria dan wanita itu adalah kehendak Tuhan (Kejadian 1:27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.) sehingga kepriaan dan kewanitaan itu bukanlah unsur tambahan dalam kodrat manusia tetapi dia adalah unsur konstitutif eksistensi manusia.

4. Kaum Homo dalam Gereja Katolik
Gereja Gereja Katolik Roma menganggap perilaku seksual manusia sebagai sesuatu yang suci, hampir penuh keilahian di dalam intisarinya, ketika dilakukan secara benar. Kegiatan-kegiatan hubungan homoseksual dianggap penuh dosa karena perilaku seksual pada dasarnya ditujukan untuk suatu kesatuan dan penerusan keturunan (meniru kehidupan Trinitas pribadi Tuhan). Gereja juga memahami kebutuhan saling melengkapi antara jenis kelamin yang berbeda untuk menjadi bagian dalam rencana Allah. Tindakan-tindakan seksual sama jenis tidak sejalan dengan pola rancangan ini:
"Tindak-tanduk homoseksual bertentangan dengan hukum alam. Tindakan-tindakan ini menutup unsur pemberian kehidupan dalam perilaku seksual. Mereka tidak berasal dari sebuah tindakan saling mengisi secara seksual dan secara penuh kesih sayang yang tulus. Di dalam situasi apapun tindakan-tindakan ini tidak bisa disahkan."[5]
Orang yang mengalami homoseksual jangan disingkirkan dari Gereja sebab mereka adalah anak-anak Allah yang juga dipanggil kepada kesempurnaan Injil sebagaimana dikatakan dalam Injil Matius 5:48 “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga ada-lah sempurna." Mereka tidak boleh disingkirkan ataupun diperlakukan secara berbeda oleh karena orientasi seksualnya. Kaum homoseksual tetap mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan yang heteroseksual yang tidak boleh dilecehkan  secara hukum maupun perlakuan.
Persoalan homoseksual bukanlah persoalan kodrat manusia. Tapi, menyangkut masalah orientasi dan praktik seksual sesama jenis. Kodrat bahwa seorang berpotensi sebagai homo atau lesbi adalah anugerah dan ujian Tuhan. Tetapi, penyaluran seksual sesama jenis merupakan dosa yang dikecam keras dalam ajaran agama. Belum lama ini (8/6/2005), Paus Benediktus XVI menegaskan, bahwa Gereja Katolik melarang pernikahan sesama jenis.

Penutup
            Gereja Katolik Roma tidak menolak Keberadaan kaum homo. Namun Gereja hanya menolak tindakan atau perbuatan mereka yang melakukan hubungan homoseksual. Sebab pada dasarnya Gereja menganjurkan supaya hubungan seks yang wajar, antara pria dan wanita. Bahkan kaum homo tidak boleh dikucilkan dalam lingkup masyarakat dan Gereja. Hadirnya Gereja di tengah-tengah dunia yaitu memanggil setiap umat manusia kepada kesempurnaan. Tapi bukan berarti kaum homo seenaknya terus menerus melakukan hubungan mereka, melainkan ada suatu kesadaran bahwa itu adalah perbuatan dosa. Melakukan hubungan sama jenis berarti melawan teologi tubuh manusia yang adalah bait Roh Kudus. Seperti yang dikatakan oleh Yohanes Paulus II secara konsisten mengatakan bahwa “Tubuh manusia yang terlihat oleh mata adalah pintu utama untuk masuk pada kenyataan Allah yang tidak terlihat.”[6]
           













DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Go, Piet. Teologi Moral Dasar. Malang: Dioma, 2007.
Ramadhani, Deshi. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II.   Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Internet:
Katekismus Gereja Katolik, no 2357. (http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=2357, diakses tanggal 19 Agustus 2011).
Wikipedia, Homosexuality (http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexual, diakses pada 17 Agustus 2011).
Wikipedia, Human Sexual Behavior (http://en.wikipedia.org/wiki/Human sexual behavior , diakses pada 17 Agustus  2011).


[2] Wikipedia, Homosexuality (http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexual, diakses pada 17 Agustus 2011).
[3] Wikipedia, Human Sexual Behavior (http://en.wikipedia.org/wiki/Human sexual behavior , diakses pada 17 Agustus  2011).
[4] Piet Go, Teologi Moral Dasar, Malang: Dioma, 2007, hlm. 37.
[5] Katekismus Gereja Katolik, no 2357. (http://www.ekaristi.org/kat/index.php?q=2357, diakses tanggal 19 Agustus 2011).
[6] Deshi ramadhani, Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II, Yogyakarta: kanisus, 2009, hlm 251.

Filsafat Aku-liyan


Pengantar

Eksistensi manusia merupakan sebuah kesadaran akan esensinya di dunia. Esensialitas manusia membutuhkan kesadaran akan keberadaannya.  Keberadaan manusia dinyatakan oleh Rene Descartes dengan slogan 'aku berpikir maka aku ada' (cogito ergo sum). Aktivitas berpikir manusia menjadi suatu permenungan akan keberadaan dirinya, ia “ada”. Ketika manusia itu berpikir mengenai keberadaannya maka sangat memungkinkan ia juga berpikir tentang keberadaan sesuatu yang lain yang ada bersama-sama dengannya, hidup bersamanya. Sehingga manusia merasa bahwa eksistensi dirinya juga menjadi eksistensi yang lainnya. Di sini ada keterikatan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya sebagai pemenuhan esensi dari manusia itu. .  
Ada suatu kolaborasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Dari kolaborasi ini, maka manusia dibedakan antara “aku” dan “bukan aku”. Pembedaan “aku” dan “bukan aku”, walaupun kelihatannya serupa, (tetapi) tidak sama dengan distingsi “jiwa” dan “badan”.[1] Namun “aku” dan “bukan aku” saling melengkapi.

Keberadaan “Aku”
Aku adalah keseluruhan, keutuhan manusia. Eksistensi manusia adalah “aku”. [2]  Kesadaran  akan “aku” berarti menyadari eksistensi dan keberadaan “aku”. Kesadaran ini pertama-tama yaitu dengan know your self. Self (diri) menjadi bagian dari realitas ke”aku”annya aku. Menyadari realitas “aku” dengan melalui suatu permenungan akan self  berarti menjadi “aku” abstrak. “Aku” abstrak itu terlibat dalam ruang dan waktu sehingga membuat “aku” sadar akan dirinya. keberadaan “aku” bukanlah sesuatu yang maya melainkan sebuah refleksi akan keberadaannya. Sifat kesadaran ini diistilahkan dengan sifat intensionalitas. “Aku” merasakan keberadaanku karena ada suatu permenungan akan eksistensiku.
Ketika “aku” menjadi kesadaran, yang ada adalah hamparan kebenaran dan keindahan dari segala konsep dan realitas tentang keseluruhanku. Bahwa aku adalah makhluk yang berakal budi.[3] Akal budi menjadi sebuah sarana untuk merasionalisasi keberadaan “aku”. Kesadaran akan keberadaan “aku” adalah kesadaran akan keseluruhanku. Pengalaman hidup “aku” itulah keseluruhanku, bukan hanya aktivitas berpikir atau merasa. Aktivitas manusia adalah aktivitas kesadaran dirinya tentang “aku”.
Kesadaran “aku” juga menjadi suatu keindahan. Mengapa? Karena dengan kesadaran “aku” mencari jalan bagaimana ia mengaktualisasi ke”aku”annya. Bentuk aktualisasi dapat berupa suatu relasi dengan “bukan aku”. Relasi “aku” dengan “bukan aku” akan menjadikan “aku” dapat meng”aku”i “aku”ku dan yang “bukan aku”.[4]
Dari awal penciptaan “aku”, sang “Aku”, Tuhan menginginkan kesadaran “aku” ada dalam kemanusian “aku”. Dengan ini Tuhan mengatakan bahwa ciptaan yang bernama manusia sebagai “sangat baik”. Mengapa manusia dikatakan sebagai “sangat baik”? karena manusia mempunyai kesempurnaan dalam dirinya sebagai manusia yang sadar akan keadaannya yang sebenarnya, manusia yang kenal akan “sangkan-parannya”, atau asal dan tujuan hidupnya, dengan mengenal akan dirinya sendiri.[5]
Kesadaran akan keberadaannya di dunia ini dengan memiliki tujuan hidup, tidak salah kalau manusia menjadikan dirinya sebagai aku subjektif. “Aku subjektif” adalah fondasi segala bentuk kehadiran manusia dengan kekayaan relasi yang mungkin dalam hidupnya.[6] Dengan demikian kemanusian dialogalnya tercipta dalam bentuk relasinya dengan “bukan aku” untuk mengisi ruang kosong dalam dirinya. Sehingga tujuan dari hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan yang bersatu dengan “Sang Aku”.

Relasi dengan Liyan (Others)
            Konsepsi mengenai liyan kerapkali dipandang sebagai objek penderitaan. Penderitaan diartikan sebagai manusia yang mengalami ketidakadilan dan penindasan dalam konteks biologis, budaya, sosial-politis, agama, dan lain-lain. Ketidakadilan yang dialami oleh liyan mengundang setiap manusia untuk melihat esensi keberadaannya.
            Eksistensi liyan merupakan bagian dari eksistensi “aku”. Meskipun liyan dipandang sebagai penghalang, bukan berarti eksistensi “aku” menjadi kabur. Kehadiran liyan memberi peluang kepada manusia untuk membangun relasi dengannya. Penderitaan liyan tidak menjadi alasan untuk menutup relasi dengannya. Dibutuhkan relasi yang mendalam sebagai bentuk pembebasan dirinya dari penderitaan.
Keberadaan the other menjadi suatu perjumpaan di mana saya tidak bisa lari dari padanya. Dalam diri liyan aku menemukan kesadaran eksistensiaku. Liyan merupakan kesadaranku. Dengan berada di tengah kerumunan yang lain, kesadaran eksistensialku muncul. Munculnya kesadaran aku berarti manusia mengenal dirinya. Manusia baru mulai mengenal diri sebagai aku berkat hubungannya dengan sesamanya. Sehingga betapa pentingnya menjalin relasi dengan yang lain (the other).
Setelah melihat pengertian liyan dan pentingnya relasi antara aku dan liyan, eksistensi aku akan menjadi absurd jika tidak ada ketergerakkan untuk menolongnya. Dalam filsafat cina dikatakan bahwa manusia yang mengikuti Dao (realitas dalam kehidupan manusia) akan memberikan pertolongan jika orang lain membutuhkan. Ia menolong mereka menjadi bebas.[7] Realitas dalam kehidupan manusia itu adalah penderitaan liyan. Memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan akan membangun suatu persahabatan yang eksistensialis. Dalam dunia eksistensialis, the other bukanlah suatu penolakan atau resistensi terhadap yang lain. Seseorang akan menyadari eksistensinya jika ia menemukan diri (self) sebagai manusia untuk sesamanya. “I am called to realize myself in the world, but for you. The encounter with you reveals to me my destiny as destiny-for-you”.[8]  

Penutup
Eksistensi manusia adalah koeksistensi yaitu “ada-bersama”. Manusia “ada-bersama” karena ada keterikatan dengan yang lain. Keterikatan ini terjadi antara “aku” dan liyan. Keterikatan “aku” dan liyan menjadi suatu parelisasi distingsi esensinya masing-masing. Letak pararelismenya yaitu ketika ‘aku” menemukan keutuhan eksistensiku dalam diri liyan. Kehadiran liyan juga sebagai pemenuhan eksistensinya. Ia juga memiliki sangkan-paran hidup. Setiap diri (self) akan dengan mudah mengenal hidupnya.
Sesama manusia adalah subjek sama seperti aku. Relasi subjek-objek berbeda dengan relasi subjek-subjek. Untuk relasi subjek-subjek dipakai istilah antarsubjektivitas atau intersubjektif. Untuk relasi intersubjektif berlaku pertemuan, dialog, pergaulan, partisipasi, cinta, harapan, dan kepercayaan. Bentuk relasi yang demikian akan membawa kesadaran yang penuh dari setiap masing-masing self. Dengan demikian sudah jelas bahwa Relasi “aku” dan liyan  tidak terlepas dari ruang dan waktu. Eksistensi mereka yaitu membentuk suatu persahabatan yang eksistensialis. Tidak ada penolakan antara “aku” dan liyan. “Aku” ada kerena ada liyan yang bersama dengan aku. Sehingga letak keberadaanku adalah melihat, merasakan, dan menolong penderitaan dalam diri liyan. Tindakan yang demikian adalah bukti bahwa kesadaran aku ada karena gerak akal budiku sebagai manusia. 



[1] Prof. Dr Armada Riyanto, CM, dkk. Aku & Liyan, Malang:Widya Sasana Publication, 2011, hlm. 4.
[2] Ibid.
[3] Ibid, hlm. 8.
[4] Prof. I.R. Poedjawijatna. Manusia Dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Jakarta: Bina Aksara,1981, hlm. 88.
[5] Dr. Harun Hadiwijoyo. Konsepsi Tentang Manusia Dalam kebatinan Jawa. Jakarta:Sinar Harapan,1983,hlm.100.
[6] Ibid, no.1, hlm. 15.
[7] Bdk. Bagus Takwin, Filsafat Timur, Yogyakarta:Jala Sutra, 2001,hlm.68.
[8] Adelbert Snijders, OFM Cap, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan, Yogyakarta:Kanisius,2010, hlm.30.

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...