Selasa, 23 Agustus 2011

Feature About Kali Sari


Tampaklah rumah-rumah penduduk yang tampak kumuh tapi tersusun rapi. Setiap rumah memiliki ukuran yang sangat kecil. Semua dinding berasal dari gedeg tanpa ada hiasan yang mahal dipajang di sana. Ada yang beratapkan terpal dan beralaskan tanah. Ya…hampir semuanya menggunakan tanah sebagai alasnya. Jika dilihat dari jalan raya yang letaknya di atas perumahan kumuh ini, semuanya sangat memperhatinkan dan mungkin ada yang mengira bahwa tidak ada orang yang hidup di sana. Demikian juga jika sudah berada di lingkungan perumahan tersebut, pemandangan yang kontras akan tampak di depan mata. Begitu besar dan megahnya perumahan-perumahan  dan pabrik, dan hiruk-pikuknya suara kendaraan di jalan raya.
Gambaran situasi di atas adalah tempat perumahan para pemulung. Kali Sari adalah adalah namanya. Semua penduduk di sekitar ini bekerja sebagai pemulung. Mereka bekerja dari subuh sampai siang terus dilanjutkan lagi mulai sore sampai malam. Ritme kehidupan seperti ini terus mereka jalani sebagai usaha untuk mencukupi kelangsungan hidup mereka.
Mereka adalah pribadi yang ramah dan bersahabat sebab ketika kami datang, mereka dengan cepat menerima kehadiran kami dan mudah diajak bicara. Kami juga sempat membantu mereka memilah-milah hasil mulung sesuai dengan pengelompokkan biaya setiap barang. Dan yang tidak kalah menariknya lagi yaitu kami disuguhi minuman teh. Sungguh pengalamn ini sangat menyenangkan bagi kami.
Selanjutnya… bagaimana pemaknaan kemerdekaan yang kami peroleh… adakah kemerdekaan di kali sari? Oh… Kali Sari…Kali Sari…merdekakah dikau?

Cerpen


Kucari Sesuap Nasi Untukmu
Habel Melki Makarius, CM

Akhir-akhir ini cuaca begitu panas. Entah mengapa pada tahun ini musim kemarau sangat lama sehingga di mana-mana terasa gerah pada siang hari. Begitu juga di perempatan jalan, tepatnya di perempatan Dieng, tampak banyak ibu-ibu berdiri di sana. Mereka adalah segerombolan pengemis yang setiap hari meminta-minta kepada setiap pengemudi sepeda motor atau mobil yang lewat di depan mereka. Di bawah panas teriknya matahari, seorang ibu dengan tangan kasarnya selalu terulur untuk meminta sepeser uang receh. Dilihat dari penampilannya, ia seorang yang sehat karena badannya sangat gendut. Tetapi gendutnya seseorang tidak menjamin sehatnya seseorang. Banyak penyakit yang dideritanya selama ini. Ini tidak juga mengurangi semangatnya untuk terus meminta belas kasih dari tangan-tangan lembut yang mau memberi sepeser uang logam demi hidupnya dan anak-anaknya.
 Semakin siang, panas terik matahari itu semakin menyengat kulit. Kulit yang terkena sinar hanyalah kulit wajah dan telapak tangan, karena seluruh badan yang lain ditutupi oleh kain. Banyaknya lapisan baju yang dipakai membuat badan semakin gerah dan mengeluarkan banyak keringat. Sehingga basahlah baju yang menutupi seluruh badannya. Langkah kaki semakin lunglai, tenaga sudah banyak terkuras karena selalu berjalan mondar-mandir dari satu mobil ke mobil yang lain. Perut sudah mulai terasa keroncongan, tetapi hingga siang ini belum ada yang memberi makanan. Meskipun tenggorokan sudah kering, ia hanya meneguk  sebotol air yang diambil dari kran yang ada di sekitar jalan Raya Dieng.  
     Di balik usahanya yang dari tadi mengemis, ada hal lain yang ia pikirkan. Suasana hatinya kadang-kadang kacau karena memikirkan anak-anaknya belum makan sedari pagi. Tangisan anak-anaknyalah yang membuat ia harus bekerja di jalan sebagai seorang pengemis. Kehidupan sebagai seorang pengemis telah lama ia jalani. Sejak kecil sampai sudah memiliki anak sekarang ini tetap saja mengemis. Kehidupan seperti ini kadang-kadang membuatnya harus menangis karena memikirkan nasib yang menimpa dirinya. Kadang-kadang pula harus bersyukur dan bahkan tersenyum karena mendapat pemberian dari orang yang baik. Pemberian terbesar yang diterima hanyalah Rp. 5.000,- Dan itu bahkan membuatnya menangis terharu. Mengapa? Karena jarang sekali orang memberi sampai Rp. 5.000,- Yang paling sering diterima yaitu Rp100 uang logam. “Inilah rejeki,” katanya. Pemberian yang ia terima ini tentu sangat berguna bagi dirinya dan anak-anaknya.
Dia adalah bu Susu. Sebenarnya namanya bukanlah Susu melainkan Supriatin. Karena dua huruf awal namanya adalah “Su” maka di panggil Susu. Disebut Susu supaya lebih mudah dipanggil oleh teman-temannya, yang semuanya pengemis, di perempatan Dieng. Bu Susu mempunyai dua orang anak, namanya Ria dan Evi. Kedua-duanya masih kecil dan duduk di bangku SD. Kedua anaknya ini selalu bersama dengan dia di jalan untuk mengemis. Berbeda dengan bu Susu, Ria dan Evi meminta uang receh dengan menggunakan tamborin. Sedangkan bu Susu hanya dengan mengulurkan tangannya. Mereka saling bekerja sama dalam mencari uang. Karena kemiskinan inilah yang membuat mereka harus turun ke jalan. Sebab jika tinggal di rumah, belum tentu mereka semua mendapat makanan. Di jalan mereka menerima pemberian orang bisa berupa uang atau bungkusan nasi.
Hari ini sungguh merupakan hari yang tidak membawa keberuntungan bagi usaha mereka. Sejak pagi mereka belum mendapatkan sebungkus nasi padahal sudah dua hari ia dan keluarganya tidak makan. Ria dan Evi, anak-anaknya terus menangis meminta makan. Pada saat ini pula, mereka tidak mempunyai uang. Yang ada pada mereka saat ini hanyalah nasi basi yang dibawa dari rumah. Ria dan Evi tidak mau makan nasi basi karena sudah mulai berair dan mengeluarkan bau yang tidak enak.
Karena kasihan melihat anak-anaknya yang terus menangis karena kelaparan, oleh sebab itu, ia berusaha meminta uang dengan cara meminjam. Ia ingin meminjam uang dari saudaranya. Saudaranya juga seorang pengemis yang berada di situ. Permintaan bu Susu ini tidak dikabulkan karena saudaranya juga tidak mempunyai uang. Ia terus berusaha meminta uang saudaranya yang lain yang adalah pengemis juga. Secara kebetulan saudaranya yang satu ini memiliki uang sedikit hasil usahanya hari ini sehingga memberi ia uang sebesar Rp. 5.000,- dari uang miliknya yang adalah Rp. 10.000,-
Bu Susu merasa bersyukur karena anak-anaknya dapat makan meskipun dengan sedikit nasi basi dengan terpaksa dengan semangkuk indomie yang dibeli dari warung terdekat. Melihat Evi dan Ria makan, bu Susu megeluarkan air mata karena mereka makan  seperti orang yang sangat kelaparan dan baru saja mendapat makanan. Selain itu, dalam hati dia juga mengatakan, “Aku harus tegar menghadapi cobaan yang Tuhan berikan. Sebab dengan ketegaran ini aku mencintai kedua anakku. Cinta menjadi kekuatan hidupku. Tanpa cinta mungkin tidak ada orang yang memberi kami nafkah meskipun dengan uang receh dan bungkusan nasi. Inilah tanggung jawabku sebagai orang tua yang dipercayai oleh Tuhan untuk menjaga dan memberi makanan untuk anak-anakku meskipun dengan sesuap nasi basi. Sesuap nasi pasti berharga bagi mereka, hidup mereka.”


Rabu, 03 Agustus 2011

English job

At the touch of love
Fr. Habel Melki Makarius, CM

When Love give power…

Life is a choice. I feel that my life is filled with choices. Starting from little things, such as what time to wake up, when to eat and drink, and to a more complicated cases, such as choices of life. This will lead to the issue of “what benefits can I get for my life?” Or can I live happily with my choices? However, by the end of the day I have to make my choices.
            Being an aspiring priest is my choice. It is hard for me to be accountable for my life choice. Tasks are numerous, community events have to be followed, plans to make, and many problems. I end up asking is it true for my life? Sometimes I feel bored and tired, however some other times I am passionate in doing these. This reminds me that life is a responsibility. Sometimes I feel that I find a grain of sand in a bowl of sugar, things are not as easy as they are said.  This is called the beauty of my responsibility.
            An option to become a priest is not easy and instant. Everything needs a long process. In this process sometimes I have to cry, feel painful, fall down, and want to quit. But my consciences says I should never give up, and trust myself to be the owner of the vocation. Because as long as you feel happy that is where the heart is.
            The ups and downs of vocation are natural things to happen. Of course, it is not fun when I have to fall down and lose my spirit. I am strengthened by the feeling that there are forces that require me to get up and stand up straight, staring at a bright future. That power is love. Love always comes just in time. When I feel empty my heart will be filled instantly by the love of God.
Similarly, when I feel discouraged and confused by my choices , I try to find love that has changed and led me to the seminary. Without fully realizing what has happened, my problem can be resolved. Little by little I could make friend with my problems. Some other times, I am guided to solve my own problem by reflecting it in my daily journal. My friends, seem to be happy living their life choices, why cannot I? So I can be happy like my friends. I am happy because I always find love. Loving my choice is my way to live my present life. Happiness doesn’t mean hating the other option. Happiness is because I love my choices. And is not only from pleasant experiences but also painful experiences. There’s always love there that carries and leads me back to my life choices. From this case I believe that there are benefits from the choice I have made.

When I must choose….
            This is my experience about my choice. I think this experience is amazing for me. It happened when I was in Junior High School. All of this because of God and the love of my parents. One day when I was about to accept the result of Final Exam, mom and dad asked me about my study. Dad said “My son, where are you going to continue your study after Junior High School?” I was confused to answer it. Why? Because I was afraid to tell to them that I would continue my study in the seminary. I wanted to become a priest. I knew that dad and mom did not agree with my choice. I was quiet very long, so my dad asked the same question again. And I encouraged myself to answer the question. “ I am going to continue my study in seminary, dad. “ Suddenly mom asked me again “What? You want to continue your study in seminary? Are you sure with your choice?” “Yes I am, mom” I said, confidently.
After that we were silent and said nothing until my grandmother came. She asked why we were silent. And mom said to her that I wanted to continue my study in the seminary. My grandmother had good response with my choice. She agreed with my choice to become a priest. She convinced mom and dad that my choice was good and noble. Finally they agreed with my choice. I gave thanks to my grandmother because she had helped me to convince that my choice is true.
But it is only my plan. I did not know about my result of Final Exam. If I had not passed, then I would not have been able to continue my study in the seminary. To face this I could put my fear in only the hands of Lord. When it was the time to get my result, mom and I went to my school. I was afraid. The feeling was intensified when I saw my friends to cried because they didn’t pass the exam. I didn’t know why my envelope of Final Exam was given the last by the headmaster himself.
After everybody got the envelope, I know they didn’t pass. I was very afraid. Finally the headmaster gave me my envelope. When I opened it, I cried because I thought I did not pass either. But mom opened it again. When she opened, she looked very happy and suddenly kissed me. She said that I passed. I saw that envelope again, and I was sure that I passed. I was very happy. At my school only two person passed. They were my friend (Ari Kusmita) and me.
I gave thanks to God. God heard my prayer, and He called me. He always leads my life and chooses me to follow Him in my vocation. My life’s experiences are the love of God. Without God I can not do anything. I see that all of my experiences are divine providence. I am sure that my life can make my parents happy.

When I write the Journal….
As I go through the journey of my choice, then I get new strength. Each experience must be reflected. The trick is to write a journal every day. A journal may give new nuances in life. A journal helps to look back, look the present time and to see my future. The following is one example of my journal:
Saturday, April 10, 2010
Life can not be separated from existing experiences. If someone does not have the experience, it is obvious that he is dead. He does not live. He does not realize that his life experience gives language to the soul that really touches one is heart, at the deepest. A heart needs to be touched by life experiences. Both pleasant and unpleasant ones. So herein lies the life. The life that gives the color of every life’s journey. Although sometimes we are not able to remember our life experience in details but which become significant is not the series of events but a series of meanings obtained during life.
Do not be afraid of experiences!
            The future is an uncertain path with no end. But I remains convinced that the joy of our little heart can penetrate trees, hills, large rock that blocks our view to look ahead. Make sure the steps we are taking are steps to keep our dreams in the future. The life experiences are treasure. An experience is an invaluable treasure. 


Liputan


Diam, Dengar, dan Rasakan
Fr. Habel Melki Makarius, CM

            Di awal tahun 2011, pada tanggal 3-8 Januari 2011, kami mengadakan Retret Tengah Tahun Kanonik. Retret kali ini dilakukan di rumah retret Pondok Betlehem, Jedong. Pesertanya adalah kami berenam (novis CM) dan dibimbing oleh Rm. Antonius Gigih Julianto, CM. Berbeda dengan Retret Awal Tahun Kanonik, retret kali ini dilakukan sebagai sebuah permenungan panggilan kami yang telah enam bulan kami jalani di Seminarium Internum. Kami harus menarik diri dari kesibukan-kesibukan dan masuk dalam keheningan batin. Dengan tempat retret yang sungguh mendukung suasana retret, hal ini dapat memberi kefokusan kami dalam mengikuti retret.
            Untuk mengawali Retret Tengah Tahun Kanonik, kami melakukan perziarahan. Perziarahan dimulai pada pukul 9.30 WIB di Gereja St. Vinsensius A Paulo, Langsep. Tujuan perziarahan kami yaitu rumah retret Pondok Betlehem, Jedong. Satu per satu kami berjalan dengan jarak waktu 5 menit setiap orang. Dalam perjalanan kami melakukan doa Rosario. Doa Rosario dapat membantu kami untuk menikmati perjalanan yang cukup panjang  dan menanjak. Puncak perziarahan kami yaitu Gua Maria yang berada di lokasi retret. Semuanya dilakukan dalam suasana hening.
            Tiga tema yang kami renungkan dalam retret yaitu; Tinggal Bersama Yesus, Bekerja Bersama Yesus, dan Bekerja Seperti Yesus. Selama retret kami diajak oleh Rm. Gigih untuk merenungkan ketiga tema tersebut. Tema-tema tersebut juga menjadi bahan meditasi, doa, dan refleksi kami.
            Menghayati hidup Yesus adalah pusat dari kehidupan kristiani terlebih kaum religius yang mengikuti-Nya secara khusus. Kekhususan dalam mengikuti Yesus membawa nilai dan pedoman hidup seorang religius. Berawal dari tinggal bersama Yesus, mengenal cara kerja Yesus, dan mampu bekerja seperti Yesus, kehadiran Yesus di dunia ini telah memberi cara kerja yang baik kepada para pengikut-Nya. Oleh sebab itu, retret kali ini ingin memberi arti bagi kami sehingga memberanikan diri kami untuk mengikuti Kristus sang pewarta kabar gembira kepada orang miskin, seturut teladan St. Vinsensius. [1] Dengan demikian kami ingin membagikan buah-buah retret yang telah kami dapatkan.

Tinggal Bersama Yesus (Senin-Selasa)
            Retret tengah tahun kanonik dibuka dengan Misa Kudus. Misa Kudus dipimpin oleh Rm. Gigih, CM. Dalam khotbah, beliau menegaskan bahwa kehadiran kami dalam retret ini merupakan cinta Tuhan. Cinta Tuhan yang telah mengajak kami keluar dari kesibukan-kesibukan dan tugas-tugas kami. Selama beberapa hari kami merenungkan perjalanan hidup kami yang selalu dituntun oleh Tuhan.
            Setelah makan malam, kami memulai permenungan mengenai tema retret. Temanya yaitu Tinggal Bersama Yesus. Hanya sedikit waktu bagi kami untuk berkumpul. Waktu yang ada, banyak kami gunakan secara pribadi. Setiap hari kami wajib melakukan meditasi pribadi selama dua jam. Setiap hari pula, kami mengadakan wawancara dengan pembimbing retret. Dengan jadwal seperti ini, kami diharapkan bisa menemukan buah-buah retret.
            Sebagai pengantar permenungan  Tinggal Bersama Yesus, Rm. Gigih menceritakan pengalamannya selama berada di Papua. Beliau bercerita tentang kehidupan sepasang suami istri, Paskalis dan Maria.[2] Dari cerita ini dapat dikatakan bahwa tinggal bersama Yesus berarti berdoa dan berkontemplasi. Kontemplasi menjadi kunci bagi setiap orang yang mau tinggal bersama Yesus. Dengan demikian kita dapat membangun relasi yang personal dengan Yesus sampai terbentuk cinta bakti yang mendalam pada pribadi Yesus. Cinta bakti yang mendalam membawa pada relasi yang lebih intim.
            Apa yang dilakukan ketika tinggal bersama Yesus? Kita senantiasa hadir, mengerti, mengalami, dan memilih Yesus.[3]  Setelah itu, untuk selalu tinggal bersama Yesus ada dua hal penting yang harus kita lakukan yaitu menumbuhkan kerinduan dan bersyukur. Kerinduan akan kehadiran Yesus berarti mencintai Yesus. Bersyukur berarti mensyukuri anugerah yang telah kita terima yaitu boleh merasakan tinggal bersama Yesus.

Bekerja Bersama Yesus (Rabu-Kamis)
            Kami masih menjaga keheningan. Meditasi selama dua jam setiap hari masih setia kami lakukan. Suasana retret dan tempat retret  sangat mendukung  kami untuk terus merenungkan bahan-bahan retret. Untuk menjaga keheningan, Semua kegiatan diatur pribadi kecuali konferensi dan Misa Kudus. Selain itu saling menyapa tidak dianjurkan karena jika kami menyapa satu sama lain, maka akan menimbulkan suara dan suasana hening akan terganggu. Melalui ini kami diajak untuk masuk dalam diri kami dengan menjaga keheningan.
            Bekerja bersama Yesus merupakan bahan retret yang kedua yang kami renungkan. Inti dari bekerja bersama Yesus adalah ikut serta dalam tugas perutusan Yesus. Keikutsertaan ini berarti menyerahkan diri secara total. Totalitas dalam tugas perutusan Yesus merupakan karakteristik tugas perutusan Yesus di dunia ini. Tugas perutusan Yesus berupa cinta-Nya kepada manusia. Bapa mengutus Putera-Nya, Yesus untuk mencintai umat manusia. Bukti cinta Yesus adalah mati di kayu salib. Cinta Yesus ini sungguh total sehingga menjadi karya keselamatan bagi umat manusia. Cinta berarti berkurban dan memanggul salib.
            Komitmen untuk bekerja bersama Yesus sangat dibutuhkan dalam hal ini. Tanpa berkomitmen, kita tidak bisa bekerja bersama Yesus. Karena untuk mencintai, kita membutuhkan pengorbanan. Berkomitmen berarti mau seperti Yesus yang mengorbankan seluruh hidup-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya. Sebagai permenungan dari tema ini, kami diajak untuk merenungkan pengorbanan cinta Tuhan yang terwujud melalui salib. Salib merupakan lambang dari dosa manusia. Oleh sebab itu, menyadari dosa menjadi titik awal bagi kita untuk bekerja bersama Yesus. Sadar akan segala kelemahan dan dosa, memberi suatu rahmat bagi kita yaitu pengampunan. Pengalaman diampuni menjadi sangat penting bagi kita yang ingin bekerja bersama Yesus. Salib Tuhan telah mengampuni dan mencintai umat manusia. Salib juga mengundang kita untuk saling mencintai.
            Usaha untuk bekerja bersama Yesus, akan melahirkan identitas sebagai orang yang diutus. Agar dapat sampai ke tahap ini, maka diandaikan bahwa dalam hidup kita selalu ada dialog yang intim dengan Yesus. Dialog yang intim ini membuat kita sampai dapat merasakan dan ikut dalam keprihatinan Yesus. Konsekuensinya, kita harus berani hidup melawan arus dunia yang menghambat keselamatan dengan bertolak dari iman. Hal ini merupakan tugas bagi kita untuk mewartakan dan berani mempertaruhkan hidup kita agar gambaran Yesus tetap tampak dan hadir bagi dunia. Semuanya ini tampak pula dalam gaya hidup kita. Di saat kita diberi tugas perutusan maka hendaknya kita melakukan dengan penuh cinta. Cinta Yesus yang radikal menjadi contoh perutusan kita. Dalam perutusan juga hendaknya menghidupi semangat Yesus.

Bekerja Seperti Yesus (Jum’at-Sabtu)
            Tema terakhir yang kami bahas yaitu Bekerja Seperti Yesus. Setelah kami merenungkan dan mendalami Tinggal Bersama Yesus dan Bekerja Bersama Yesus, maka hal terakhir yaitu mau bekerja seperti Yesus. Tema ini menjadi puncak permenungan kami.
            Bekerja seperti Yesus berarti menghayati cara hidup Yesus. Cara hidup Yesus menjadi cara hidup kita sebagai pribadi yang dipanggil. Ciri dari cara hidup Yesus yaitu melakukan kehendak Allah. Dalam tindakan yang kita lakukan hendaknya juga sesuai dengan kehendak Allah. Dengan demikian kita menjadi serupa dengan ciri khas hidup Yesus di dunia ini. Untuk mengetahui kehendak Allah kita perlu menguji setiap kehendak batin. Caranya apakah kehendak batin kita sesuai dengan kehendak Allah dengan bersikap tenang. Setelah itu berdoa dan dilanjutkan dengan hening untuk mendengarkan suara hati. Suara hati kita tidak pernah salah. Sebab suara hati merupakan karya Roh Kudus yang berkarya dalam diri kita.
            Santo Vinsensius merupakan salah satu orang kudus yang kami renungkan. Kami melihat kembali sejarah hidup santo Vinsensius. Apa yang menjadi semangat pelayanan santo Vinsensius bertolak pada semangat Yesus yang mewartakan kabar gembira kepada orang miskin.[4] Bekerja seperti Yesus nampak pula dalam setiap pilihan, pikiran, dan tindakan kita. Semangat hidup Yesus harus dibawa dalam tugas perutusan yang diberikan kepada kita.

Menikmati Buah Retret
            Di akhir retret, kami mensharingkan apa yang telah kami dapatkan. Buah-buah retret yang telah kami peroleh, kami bagikan kepada yang lainnya. Kami menyimpulkan bahwa retret kali ini sungguh mengesankan bagi kami. Kami bisa merasakan keheningan yang benar-benar hening baru kali ini. Keheningan memberi semangat baru bagi kami dalam pelayanan kepada orang miskin, secara khusus Hari Orang Miskin (HOM). Saat menjalani HOM, kami harus bisa bekerja seperti Yesus. Dalam kehidupan komunitas kami tinggal bersama Yesus dan bekerja bersama Yesus dalam doa, dan kegiatan komunitas lainnya. Oleh sebab itu saat HOM inilah kami mempraktekkan apa yang telah kami temukan saat bersama Yesus dengan mencintai orang miskin secara radikal.
                
             



[1] Konstitusi CM, No. 1
[2] Lazaris No. 2, Tahun ke 5, 2011, Hal. 20
[3] Bdk Yoh 1:35-51
[4] Luk: 4:18-19

My activities

Jejakku Adalah Jejakmu
Fr. Habel Melki Makarius, CM

3-12 Desember 2010 : Exposure Paroki
             “Memangnya ada apa ya?” Beberapa hari ini, kami akan mengadakan parish exposure di paroki-paroki CM. Tujuannya yaitu supaya para frater mengenal karya-karya dari putra-putra Bapa Vincent.  Dengan demikian kami semakin mengenal secara lebih dalam bentuk pelayanan yang dibimbing oleh romo-romo CM. Selamat berjuang  ya, Ter…!

25-28 Desember 2010 : Hari Raya Natal dan Kunjungan Natal
Hari istimewa bagi para frater Seminarium Internum dan postulant CM, karena kami boleh merayakan kelahiran Sang Juru selamat dengan penuh kegembiraan dan saling berbagi kasih. Untuk mengisi liburan Natal, kami mengadakan kunjungan Natal di komunitas-komunitas lainnya. Kami tidak hanya mengunjugi tetapi juga siap dikunjungi oleh siapa pun yang bersedia datang. Kunjungan yang dilakukan sambil membawa sukacita Natal bagi yang dikunjungi. Selain itu semakin menguatkan panggilan.

30 Desember 2010 : Sharing Mgr. Gilles Cote
            “I want to be a missionary” Said Fr. Evan after he heard sharing from Mgr. Gilles Cote, a bishop of Papua New Guinea. He came to Malang especially in our seminary to share his experience about to be a missionary in PNG. He said “Don’t be afraid to be a missionary because still more places need priest.” So we were happy and had new strength in our vocation to be a missionary. “PNG, I will come!!” Said Fr. Bryant.

1 Januari 2011 : Tahun Baru
            “… and Happy New Year.” Demikan lagu itu berkumandang tepat jam 00.00 di aula seminari. Suasana riuh dan teriakan keras menggema di dalam aula. Terdengar pula bunyi kembang api di mana-mana di setiap tempat kota Malang. Kami tidak mau ketinggalan dalam memeriahkan Tahun Baru 2011. Layaknya manusia yang berada di bumi ini, maka kami juga mengucap syukur atas anugerah yang telah Tuhan berikan kepada kami di tahun 2010 dan mulai menapaki perjalanan hidup dan panggilan kami di tahun 2011. “Tahun yang baru, semangat juga baru, coy…,” kata Fr. Habel sebagai ketua umum yang baru.    

3-8 januari 2011 : Retret Tengah Tahun kanonik
            Sudah enam bulan perjalanan panggilan kami di Seminarium Internum. Sekarang tibalah saatnya bagi kami merenung kembali perjalanan panggilan selama ini. Permenungan yang kami lakukan melalui retret dan dibimbing oleh Rm. Gigih, CM. Rumah Retret Pondok Betlehem menjadi tempat berlangsungnya retret. “Jangan lupa siapkan hati, pikiran, budi, dan … segenap tenaga kalian ya, ter,” nasihat Romo Gigih sebelum kami berangkat retret. “Kalian harus berjalan kaki menuju rumah retret!,” tambahnya. “Wow… asyik nie, sebab badanku  bisa turun beratnya,” sahut Fr. Briant.

25 Januari 2011 : Hari Jadi CM ke 394
            “Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun!!”
            Demikian sepenggal lagu yang dinyanyikan oleh Fr. Evan di sepanjang lorong di pagi hari. “Ada apa, Van?” Tanya Fr. Galan. “Masak, kamu lupa! Hari ini kan hari jadi CM, kongregasi kita yang ke 394,” Jawab Fr. Evan yakin. “O…o…o… mari kita nyanyi bersama-sama lagi!!” ajak Fr. Galan . “Eh.. dan jangan lupa kalau mulai hari ini, kita mempunyai visitator baru yaitu Rm. Jack,” sahut Fr. Evan.
            Sebagai ungkapan syukur atas hari jadi CM, seluruh anggota yang berada di Domus Malang merayakannya di Seminari Tinggi CM, Langsep. Acara dimulai dengan misa, setelah itu makan malam bersama dan dilanjutkan dengan serasehan dari Rm. Armada, CM. Beliau memaparkan kepada kami tentang sejarah CM di Indonesia. CM di Indonesia tidak luput dari apa yang namanya sejarah. Dalam sejarah, ada kronologi, peristiwa, manusia, dan hati.

3 Februari 2011 : Mancing bersama
            “Oh… itu besar, cepat, tarik, cepat, aw… lepas,” teriak Fr. Robi ketika melihat seekor ikan meghampiri mata kail milik Fr. Santo. Mancing yang kami lakukan ini pasti banyak dapatnya karena kami memancing di kolam kami sendiri. “Ikan-ikannya sudah dua hari tidak dikasi makan, coi…,” kata Fr. Briant sambil memasukkan hasil kailannya ke dalam ember. “Dasar curang,,, pantasan kami lapar….,” Sahut ikan dalam air.

19-21 Februari 2011 : Seminar Seksualitas
            Selama tiga hari, para frater Seminarium Internum akan bergulat dengan seksualitas. Kami mengikuti seminar seksualitas yang diberi oleh Rm. C.B. Kusmaryanto, SCJ. Seminar ini diikuti oleh gabungan para postulant dan novis tarekat suster, frater, dan imam dari berbagai kongregasi. Dengan mengikuti seminar ini, kami diharapkan dapat mengenal, mengerti, memahami, dan menerima seksualitas yang ada dalam setiap diri kami. Tema yang diangkat dalam seminar ini yaitu Seksualitas kaum Berjubah.  

2 Maret 2011 : Tahbisan Diakon
            “ Ter, hari ini melepas lajang ya?” Tanya Fr. Habel kepada Fr. Sigit, yang adalah salah satu frater CM yang akan ditahbiskan menjadi diakon pada hari ini. Dia hanya menyeringai dan tersenyum kecil. “Selamat ya, ter!,”
            Hari ini kami sungguh bahagia karena kedua konfrater kami boleh ditahbiskan menjadi diakon. Jalan semakin dekat menuju imamat. Namun perjalanan tidak berhenti di tahbisan melainkan terus saja berjuang. “kapan ya, saya menggunakan dalmatik?” kata Fr. Galan ketika melihat para diakon baru berdiri di depan altar Katedral Malang.

4-5 Maret 2011 : Lokakarya MUV 1
            Sebelum mengadakan misi umat, para misionaris melakukan lokakarya. Ini merupakan lokakarya dan misi umat yang pertama bagi kami frater Seminarium Internum. Lokakarya berlangsung di Seminari Tinggi CM, Badut. Misi umat 2011 dilaksanakan di paroki St. Petrus dan St. Paulus, Wlingi, keuskupan Surabaya. Dalam lokakarya yang pertama ini, kami dikenalkan terlebih dahulu mengenai situasi paroki dari Tim Paroki Wlingi. Di hari kedua, Rm. Ponti, CM mensharingkan pengalaman bermisinya di Indonesia.

30-31 Maret 2011 : Live in di Seminari Garum & Long march
            Fr. Galan dan Fr. Evan akan bernostalgia di Seminari Garum. Mereka mengenang kembali saat-saat menyenangkan dan menyedihkan ketika masih dalam pembinaan di Seminari Garum. Sedangkan para frater yang lainnya akan menjadi pengalaman baru ketika harus tinggal dan mengikuti acara para seminaris Garum. Keesokkan harinya kami mengadakan long march yang kedua. Perjalanan begitu jauh dan melelahkan. Akibatnya berat badan Fr. Briant turun 1 kg. Tujuan long march yaitu bendungan Selorejo. Bersama dengan kami, ada para romo CM dari Seminari Garum dan paroki St. Maria, Blitar, para suster PK dari  komunitas Garum, dan dua frater pastoral. Rekreasi ini merupakan rekreasi para putra-putri papa Vinsensius dan mama Louisa.

12-13 April 2011 : Tes Masuk Calon CM
            “Tolong persiapkan kamar tamu sebanyak empat buah, ya ter! Hari ini dan besok akan diadakan tes bagi calon CM,” kata Rm. Gigih ketika sedang makan siang di ruang makan. Kami bersyukur kepada Tuhan, karena Dia masih memberi kami pemuda-pemuda yang ingin bergabung bersama kami melayani orang miskin. Tetapi sebelum masuk anggota kongregasi, mereka harus dites terlebih dahulu. Selama dua hari mereka akan mengikuti serangkaian tes masuk. “Selamat menjalani tes dan semoga diterima! Kami menunggu kedatangan kalian,” ucap para frater kepada semua calon CM.

21-24 April 2011 : Triduum Tri Hari Suci dan Hari Raya Paskah
            Mengenakan Roh Kristus. Inilah tema yang kami renungkan selama Triduum. Selama Triduum, kami dibimbing oleh Romo Tri Wardoyo, CM. Di tengah sibuk mempersiapkan batin untuk merenungkan tema Triduum, kami juga mempersiapkan liturgi selama Tri Hari Suci, mulai dari Kamis Putih sampai Malam Paskah. Kami bersyukur karena postulant CM berlibur di novisiat sehingga mereka dapat membantu perayaan liturgi Tri Hari Suci. Pada Hari raya Paska, kami melakukan kunjungan-kunjungan ke komunitas lain. Kami mau merayakan kegembiraan Paskah bersama umat Allah dan membagikan sukacita kebangkitan Tuhan. Keluarga Seminarium Internum mengucapakan Selamat Hari Raya Paskah 2011. Alleluya!   

27-28 April 2011 : Rekreasi dan Camping Bersama 40 Tahun Seminari CM
            “Burung camar bermain di derunya air
            Suara alam ini hangat jiwa kita”
Demikianlah sepenggal lagu yang membawa kami kepada lokasi rekreasi dan camping bersama. Kebersamaan ini kami adakan di Gua Cina. Semua frater CM mengikuti acara rekreasi dan camping. Sambil mendengar deru ombak yang menghantam batu karang, kami semua melakukan banyak acara dan game demi memeriahkan suasana rekreasi yang kami lakukan selama tiga hari, baik permainan pantai maupun olahraga, dan yang tidak kalah pentingnya yaitu lomba masak heboh. Semuanya tampak bahagia karena dapat mengisi liburan Paskah dengan rekreasi di pantai. Tujuan dari kegiatan ini yaitu memeriahkan perayaan 40 Tahun Seminari Tinggi CM di Indonesia dengan tema Creative Fidelity For The Mission. Selamat berekreasi ya, Ter!


feature


 Tegar: Aku Harus Juara
Fr. Habel Meli Makarius, CM

Aku sudah menangis
Aku sudah tertawa
Semua tetap indah
Aku harus juara berdiri di sini
Tegar…[1]

     Di bawah panas teriknya matahari, sebuah tangan yang kasar terulur untuk meminta sepeser uang receh di perempatan Dieng, Malang. Dia selalu mengharapkan belas kasih dari tangan-tangan lembut yang mau memberi sepeser uang logam. Semakin siang, panas terik matahari itu semakin menyengat kulit. Kulit yang terkena sinar hanyalah kulit wajah dan telapak tangan. Karena seluruh badan yang lain ditutupi oleh kain. Banyaknya lapisan baju yang dipakai membuat badan semakin gerah dan mengeluarkan banyak keringat. Sehingga basahlah baju yang menutupi seluruh badan.
     Suasana hati kadang-kadang kacau karena memikirkan anak-anaknya belum makan sedari pagi. Tangisan anak-anaknyalah yang membuat ia harus bekerja di jalan sebagai seorang pengemis. Kadang-kadang harus menangis karena memikirkan nasib yang menimpa dirinya. Kadang-kadang pula harus tertawa dan bahkan tersenyum karena mendapat pemberian dari orang yang baik. Pemberian terbesar yang diterima hanyalah Rp. 5.000,- Dan itu bahkan membuatnya menangis terharu. Mengapa? Karena jarang sekali orang memberi sampai Rp. 5.000,- Yang paling sering diterima yaitu Rp100 uang logam. “Inilah rejeki,” katanya.
     Kisah di atas merupakan gambaran mengenai orang miskin yang selalu saya kunjungi saat HOM (Hari Orang Miskin)[2]. Dia adalah bu Susu. Sebenarnya namanya bukanlah Susu melainkan Supriati. Karena dua huruf awal namanya adalah “Su” maka di panggil Susu. Disebut Susu supaya lebih mudah dipanggil oleh teman-temannya, yang semuanya pengemis, di perempatan Dieng. Bu Susu mempunyai dua orang anak, namanya Ria dan Evi. Kedua-duanya masih kecil dan duduk di bangku SDN Tanjung Rejo 1, Malang. Kedua anaknya ini selalu bersama dengan dia di jalan untuk mengemis. Berbeda dengan bu Susu, Ria dan Evi meminta uang receh dengan menggunakan tamborin. Sedangkan bu Susu hanya dengan mengulurkan tangannya. Mereka saling bekerja sama dalam mencari uang. Karena kemiskinan inilah yang membuat mereka harus turun ke jalan. Sebab jika tinggal di rumah, belum tentu mereka semua mendapat makanan. Di jalan mereka menerima pemberian orang bisa berupa uang atau bungkusan nasi.

Aku di sini untuk cinta
Memenangkan hati kalahkan dunia
Aku berdiri untuk cinta
Menangkan  hati menangkan cinta
Cinta

     Sambungan lagu di atas, mengingatkan saya bahwa kehadiran bu Susu dan anak-anaknya di perempatan Dieng adalah untuk cinta. Sepanjang hari mereka harus berdiri dan berjalan kian kemari meminta belas kasihan dari orang lain. Usaha yang mereka lakukan adalah demi cinta. Terutama bu Susu, ia bekerja demi anak-anaknya. Demikian juga Ria dan Evi bekerja untuk membantu ibunya. Mereka saling membangun dan menghidupi satu sama lain. Salah satu contoh nyata yaitu mereka bekerja bersama untuk mencari nafkah demi keluarga mereka.
     Pernah pada suatu ketika, bu Susu menangis di depan saya. Saya sendiri berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis. Saya hanya menangis dalam hati. Tangisan bu Susu disebabkan oleh beban keluarganya. Selama dua hari ia dan keluarganya tidak makan. Ria dan Evi terus menangis meminta makan. Pada saat itu pula, mereka tidak mempunyai uang. Yang ada pada mereka hanyalah nasi basi. Ria dan Evi tidak mau makan nasi basi karena sudah mulai berair dan mengeluarkan bau yang tidak enak. Usaha dari bu Susu yaitu meminta uang dengan cara meminjam. Ia ingin meminjam uang dari saudaranya. Saudaranya juga seorang pengemis yang berada di perempatan Dieng. Permintaan bu Susu ini tidak dikabulkan karena saudaranya juga tidak mempunyai uang. Akhirnya pada hari kedua, di sore hari saudaranya yang lain yang adalah pengemis memberi ia uang sebesar Rp. 5.000,- dari uang miliknya yang adalah Rp. 10.000,- Bu Susu merasa bersyukur karena anak-anaknya dapat makan meskipun dengan sedikit nasi dan indomie. Ia berkata kepada saya, “Bel, saya sungguh kasihan melihat Evi dan Ria makan. Sebab mereka seperti orang yang sangat kelaparan dan baru saja mendapat makanan.” Selain itu, dia juga mengatakan, “Aku tegar, Bel, menghadapi cobaan yang Tuhan berikan. Sebab dengan ketegaran ini aku mencintai kedua anakku. Cinta menjadi kekuatan hidupku. Tanpa cinta mungkin tidak ada orang yang memberi kami nafkah meskipun dengan uang receh dan bungkusan nasi.”
     Saya sungguh terharu mendengar cerita dari bu Susu mengenai pengalamannya. Saya menyadari bahwa kehadiran saya saat HOM bukan membantu mereka secara jasmani, melainkan menjadi kresek hitam bagi mereka untuk menyimpan ketidaknyamanan hidup mereka. Dan yang tidak kalah pentingnya yaitu belajar hidup dari hidup mereka.

Linang air mata besarkan jiwaku
Aku berlari dengan cintaku
Aku harus kuat mewujudkan
Mimpiku…

     Suka duka hidup sebagai pengemis adalah makanan yang selalu mereka terima. Kesesakan jiwa harus dialami karena air mata terus saja berlinang. Menjalani hidup sebagai pengemis bukanlah sebuah mimpi untuk hidup mereka. Tidak ada orang yang mau menjadi pengemis selain karena terpaksa. Dilihat dari strata sosial, pengemis adalah strata yang terendah. Ini membuat malu. Dalam kenyataan hidup, keberadaan mereka sering tidak dianggap. Keseharian mereka dianggap sebagai sampah jalan dan harus dibuang. Inilah pernyataan yang saya dengar dan lihat sendiri dari hidup mereka. Berdasarkan pengalaman mereka, mereka pernah ditangkap oleh satpol PP ketika sedang berada di jalan untuk mengemis. Inilah pengalaman duka dari mereka yang terus membuat mereka lebih berhati-hati lagi supaya tidak tertangkap.
     Pengalaman bersama orang miskin ingin mengatakan kepada saya bahwa hidup bukanlah sebuah keluhan. Tuhan menciptakan manusia untuk hadir di dunia bukan untuk mengeluh melainkan untuk bersyukur akan segala anugerah cinta-Nya yang telah Ia berikan kepada saya. Selain itu kehidupan orang miskin memberi suatu nilai Injil. Mereka adalah Injil yang hidup bagi setiap orang yang mau dekat dengan mereka. Sebab dari mereka saya menerima nilai-nilai kehidupan; ada iman, harapan, dan kasih. Pengalaman hidup mereka menginjili hidup saya. Inilah suatu pengalaman terindah yang saya alami; pengalaman bisa bersama orang miskin.   Kekuatan cinta membuat seseorang memilki mimpi dalam hidupnya. Untuk mengejar mimpi perlu suatu ketegaran hidup. Situasi hidup tidak bisa diramalkan tetapi bisa dirasakan. Merasakan situasi hidup berarti mempunyai hati untuk mencintai dengan kasih yang dimiliki. Situasi yang dialami dapat diubah oleh mimpi. Dalam bahasa iman mengatakan bahwa mimpi hidup inilah yang disebut harapan. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh St. Paulus, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!” (Bdk 1 Kor 9:24). Demikian juga orang miskin yang saya jumpai, mereka berusaha untuk mewujudkan hidup mereka supaya mendapat hidup yang lebih baik lagi. Ketegaran hidup yang mereka miliki ingin mengatakan bahwa, “Aku harus juara dalam pertandingan hidup dengan membawa iman dan harapan yang aku miliki serta dihidupi oleh semangat kasih.”
    




[1] (kemenangan Cinta) Lagu yang diciptakan oleh Anang Hermansyah dan dibawakan oleh Citra Idol pada malam grand final.
[2] Kegiatan novis CM yang dilaksanakan setiap hari Minggu.

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...