Minggu, 22 Januari 2012

Cerpen: Kado Buat Tuhan


Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena silaunya cahaya itu dan keringat di seluruh badan. Sinar itu datang melalui ventilasi yang berada di atas jendela kamar. Ingin kututup ventilasi itu dengan kain tapi tidak bisa karena badan saya  pendek. Dan tidak mungkin saya memanjatnya karena badan terasa lemas sekali.
Akhirnya saya bangun dari tempat tidur dan berjalan menuju meja belajar yang ada di dekat jendela. Saya membuka jendela kamar dan membiarkan cahaya matahari sore memenuhi kamar tidur. Meskipun sudah bangun saya mencoba untuk tidur lagi di atas meja. Ketika ingin terlelap lagi, saya mendengar suara ibu memanggil.
“Nak, apakah kamu sudah bangun tidur? Tolong ke sini bantu ibu sebentar!”  Terdengar suara ibu memanggil saya. Ternyata ibu tahu kalau saya sudah bangun. Oleh sebab itu, ia meminta saya untuk membantunya. Ia mengetahui melalui bunyi jendela yang telah saya buka. “ Nanti dulu ya bu! Masih belum segar nih,” jawabku.
Dari jendela kamar saya melihat ibu dengan tekun mengisi pot-pot dengan tanah. Kemudian dia mengambil berbagai macam jenis bunga yang telah ditanamnya di pollybag dan memindahkan bunga itu ke dalam pot yang telah diisi dengan tanah. Terus menerus ibu melakukan kerjanya itu sehingga sudah banyak pot yang telah terisi dengan bunga. Tampak jejeran pot-pot dengan bunga-bunga yang indah tersusun rapi di kursi panjang yang sengaja dibuat oleh ibu untuk meletakkan bunga-bunga itu.
Lalu saya mengambil buku Chickens Soup yang tersusun rapi di atas meja belajar. Halaman demi halaman saya buka. Ada berbagai cerita menarik. Tiba-tiba kegiatan membaca saya berhenti sejenak karena ada kata-kata yang begitu menarik. Saya mengambil buku kecil yang ada di dalam laci meja. “Apakah maksud kata-kata ini?” pikirku. “Lebih baik kutulis sekarang.”
“Seorang ahli kimia yang dapat mengeluarkan dari hatinya, 
welas asih, rasa hormat, kerinduan, kesabaran, penyesalan, 
keterkejutan, dan rasa maaf, lalu memadukannya menjadi suatu senyawa, 
akan mampu menciptakan atom yang disebut cinta.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kuambil buku kecil yang ada di dalam laci dan kutulis kata-kata tersebut. Setelah itu kusimpan kembali buku itu di dalam laci kemudian melanjutkan membaca cerita-cerita yang lain. Tidak lama kemudian, terdengar suara ibu memanggil lagi.  “Anton cepat ke halaman, ibu butuh bantuan! Ibu tidak mampu mengangkat tanah ini. Cepat nak Bantu ibu. Tingalkan dulu buku itu nanti kamu lanjutkan lagi.”
Panggilan ibu membuat saya menjadi marah karena dari tadi terus saja memanggil. Karena jengkel maka tidak saya hiraukan. “Lebih baik membaca,” pikirku. “Lagian buku ini sangat penting bagi hidup saya. Tidak ada yang lebih baik dari pada membaca buku ini.” Memang dari dulu saya lebih senang membaca daripada melakukan hal-hal yang lain. Untuk membaca saya kadang-kadang sampai lupa waktu. Saya tidak mempedulikan situasi di sekitar saya jika sedang asyik membaca.
Tapi perasaan marah dan kesal menyelimuti saya ketika suara ibu terus terdengar memanggil supaya membantunya. Panggilan ini tidak saya hiraukan lagi. Saya  semakin menutup kedua telinga saya dengan kedua jari telunjuk. Tetapi tetap saja suara ibu terdengar memanggil. Dengan rasa jengkel dan marah, saya hempaskan buku itu di atas meja belajar dan dengan langkah berat beranjak ke luar. “Bu kok siang-siang gini kerja sih? Sekarang kan baru jam 3. Bisa tidak tunggu sore dikit?”
Ibu diam. Dia tidak menjawab pertanyaan saya. Dengan tenang dan tunduk dia memindahkan tumpukan tanah kompos dari tempat yang besar ke tempat yang kecil supaya dia bisa membawanya. Dia tahu bahwa saya tidak mau membantunya. Karena melihat ekspresi wajah saya  yang marah, dia tidak lagi mengajak untuk bekerja lagi. Melihat kemenangan yang kuperoleh itu, dengan langkah riang saya kembali masuk kamar dan melanjutkan membaca buku.
            Ibu tidak memanggil lagi sampai pukul 05.30. Saya melihat ke luar sudah mulai gelap. Belum ada tanda-tanda kalau ibu sudah masuk rumah. lampu-lampu di ruang tamu masih gelap. Hanya di kamar saya yang sudah menyala lampunya.
Sudah jam 06.00 lampu di luar masih belum dinyalakan. Belum terdengar suara berisik dari luar kamar. Suara lonceng angelus dari gereja terdengar lembut memanggil anggotanya untuk berdoa “Malaikat Tuhan”. Saya merasa heran mengapa suara ibu tidak terdengar sedikitpun. Padahal saya tahu ibu selalu mendoakan doa ini. Meskipun sedang bekerja ia selalu berhenti sejenak untuk berdoa. Rasa heran ini saya simpan karena terlalu asyik membaca.
Ayah saya belum juga datang dari kerjanya. Ayah adalah seorang sopir bis yang biasanya pulang pada jam 10.00-11.00 malam atau bahkan tidak pulang dalam satu hari. Makanya tidak heran bagi saya jika kehadiran ayah di rumah hanya sebentar-sebentar saja. Karena bagi saya jika ayah datang tengah malam atau bahkan tidak datang, itu hal yang biasa.
Setelah buku itu habis terbaca, saya beranjak dari tempat duduk menuju kamar mandi yang berada dekat dapur sekaligus ingin melihat pekerjaaan ibu. Saya  ingin melihat apa yang ibu lakukan di dapur, sampai-sampai lampu tidak dinyalakan. Ketika sampai di dapur, lampu juga masih gelap. Maka dengan perasaan cemas saya memikirkan ibu. Saya  segera berlari ke halaman depan.
            Saya terkejut karena melihat sosok tubuh manusia terbaring di tanah. Saya terus mengamati sosok itu karena suasana di tanah sudah gelap. Saya semakin penasaran sosok tubuh siapakah itu? Tampaknya seorang wanita tua, tapi itu tidak mungkin ibu. Karena rasa penasaran ini saya berlari ke dalam rumah untuk menekan skalar lampu yang tidak jauh dari pintu depan. Setelah itu berlari ke pintu depan untuk memastikan siapa sosok itu.
Nafas saya berdetak kencang, kepanikan semakin menjadi-jadi karena melihat sosok itu ternyata ibu. Tiba-tiba air mata saya mengalir. Karena melihat ibu sudah terbaring di tanah, saya segera berlari ke tempat ibu. Alangkah terkejutnya ketika mendapati seluruh tubuh ibu sudah dingin. “Ibu… ibu.. apa yang terjadi? Bangun bu!” tangisan saya semakin terdengar keras. Kepanikan semakin menyelimuti. Ingin saya angkat tubuh ibu tetapi tidak mampu.
Saya  sandarkan kepala saya di atas dada ibu. “Oh Tuhan! Nafas ibu berhenti,” teriakku. saya semakin panik dan menangis dengan histeris. Untuk memastikannya lagi, tangan saya langsung menyentuh denyut nadinya. Nafas saya menjadi tidak karuan dan tangis semakin histeris. Tetangga-tetangga berdatangan karena mendengar tangisan saya. Mereka membantu saya mengangkat tubuh ibu ke dalam rumah. Mereka juga mengatakan bahwa ibu benar-benar sudah tiada. Tidak dapat lagi dibendung tangisan saya.
Ucapan turut berduka cita dan hiburan terdengar di telinga saya. Saya merasa muak mendengar semuanya itu. Ada sesuatu yang mengganjal hati sehingga saya terus menatap tubuh yang terbaring lurus di depan mata. Penyesalanlah yang sedang mengganjal itu. Saya  menyesal dan sungguh menyesal mengapa saya tidak membantu ibu tadi. saya tidak memperhatikan kesehatan ibu. Padahal saya tahu kalau ibu selama ini menderita penyakit jantung. Saya  bodoh dan bodoh. Tapi mengapa Tuhan tidak memberi waktu untuk saya supaya meminta maaf kepada ibu? Cukup berdosakah saya? Sekali lagi saya katakan bahwa saya bodoh dan egois.  
Hari demi hari terus berlalu. Sekarang saya hanya mempunyai seorang ayah dan tidak mempunyai saudara satupun karena saya adalah anak semata wayang. Makanya saya sangat mencintai ayah dan tidak ingin peristiwa itu terulang lagi untuk kedua kalinya. Seminggu sekali saya dan ayah mengunjungi makam ibu. Saat inilah saya semakin tersadar bahwa ibu tetap mencintai saya. Ia selalu mendoakan saya  dari surga. “Meskipun sulit dan senang, cobalah untuk mencari makna positif dari peristiwa tersebut.” Demikian ayah menasehati saya kali ini ketika dalam kunjungan ke makam ibu menjelang Ujian Nasional. Dan kata-kata inilah yang semakin menguatkan saya. Saya mau mencari makna positif dari kematian ibu. Saya tidak ingin rasa penyesalan itu selalu mengungkung kehidupan saya. Kemudian dalam hati saya berkata di samping batu nisan ibu, “Ibu saya ingin masuk biara. Saya janji setelah lulus nanti akan saya lakukan.” Demikian janji saya kepada ibu di depan batu nisan yang ada di depan saya.
Sabtu. 25 April 2009
Kepada: Anakku Anton Toto Iswanto
          Di seminari
“Dialah buah hatiku, dia kuserahkan kembali kepadaMu.”
Nak itulah tulisan ibumu yang kertasnya masih tersimpan sampai saat ini. Saya yakin kamu bisa memahaminya.
Yang mencintaimu
Ayahnda Jimmy

Satu tahun telah terlewati bagi saya untuk memenuhi janji saya kepada ibu. Meskipun dengan berat hati, ayah mengijinkan saya untuk masuk biara. Tapi bagi saya sendiri, masuk biara merupakan sesuatu yang menyenangkan karena banyak memiliki teman yang baru dan asyik. Satu hal yang sangat saya kembangkan dalam kehidupan di seminari yaitu mencintai panggilan dengan mencintai alam. “Ibu adalah seorang pencinta alam karena merawat tanaman adalah kesukaannya. Mengapa saya tidak meneruskan ini dalam kehidupan saya saat ini,” pikirku. Saya menyadari bahwa merawat tanaman merupakan hobby ibu. Cuek merupakan sikapku yang menyebabkan kematian ibu. Oleh sebab itu, merawat tanaman dan menghilangkan rasa cuek pelan-pelan saya hidupi. Dari hal inilah meskipun dalam lingkungan seminari, saya tetap memberi yang terbaik buat ibu.
Sabtu sore romo direktur memberi sepucuk surat yang tertuju atas nama saya. Kuterima surat itu dan kulihat alamat pengirimnya. Ayah telah mengirim surat itu kepada saya. Saat menerima surat ada perasaan senang karena sudah dua bulan ini ayah tidak mengabari saya. Dengan segera saya berlari menuju kamar dengan membawa sepucuk surat di tangan. Sesampai di kamar kuletakkan badanku di atas kursi yang berada di depan meja belajar. Setelah saya menenangkan diri, kubuka isi amplop itu. Isinya hanyalah sepucuk surat yang ditulis tangan oleh ayah. 
           


          

Sadarlah akan cinta Tuhan di balik berkah cinta manusia. Cinta manusia membawa keresahan hati dan ketidakpastian, tetapi cinta Tuhan mengalirkan keyakinan dan kegembiraan abadi ke dalam batin Anda.

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...