Rabu, 03 Agustus 2011

feature


 Tegar: Aku Harus Juara
Fr. Habel Meli Makarius, CM

Aku sudah menangis
Aku sudah tertawa
Semua tetap indah
Aku harus juara berdiri di sini
Tegar…[1]

     Di bawah panas teriknya matahari, sebuah tangan yang kasar terulur untuk meminta sepeser uang receh di perempatan Dieng, Malang. Dia selalu mengharapkan belas kasih dari tangan-tangan lembut yang mau memberi sepeser uang logam. Semakin siang, panas terik matahari itu semakin menyengat kulit. Kulit yang terkena sinar hanyalah kulit wajah dan telapak tangan. Karena seluruh badan yang lain ditutupi oleh kain. Banyaknya lapisan baju yang dipakai membuat badan semakin gerah dan mengeluarkan banyak keringat. Sehingga basahlah baju yang menutupi seluruh badan.
     Suasana hati kadang-kadang kacau karena memikirkan anak-anaknya belum makan sedari pagi. Tangisan anak-anaknyalah yang membuat ia harus bekerja di jalan sebagai seorang pengemis. Kadang-kadang harus menangis karena memikirkan nasib yang menimpa dirinya. Kadang-kadang pula harus tertawa dan bahkan tersenyum karena mendapat pemberian dari orang yang baik. Pemberian terbesar yang diterima hanyalah Rp. 5.000,- Dan itu bahkan membuatnya menangis terharu. Mengapa? Karena jarang sekali orang memberi sampai Rp. 5.000,- Yang paling sering diterima yaitu Rp100 uang logam. “Inilah rejeki,” katanya.
     Kisah di atas merupakan gambaran mengenai orang miskin yang selalu saya kunjungi saat HOM (Hari Orang Miskin)[2]. Dia adalah bu Susu. Sebenarnya namanya bukanlah Susu melainkan Supriati. Karena dua huruf awal namanya adalah “Su” maka di panggil Susu. Disebut Susu supaya lebih mudah dipanggil oleh teman-temannya, yang semuanya pengemis, di perempatan Dieng. Bu Susu mempunyai dua orang anak, namanya Ria dan Evi. Kedua-duanya masih kecil dan duduk di bangku SDN Tanjung Rejo 1, Malang. Kedua anaknya ini selalu bersama dengan dia di jalan untuk mengemis. Berbeda dengan bu Susu, Ria dan Evi meminta uang receh dengan menggunakan tamborin. Sedangkan bu Susu hanya dengan mengulurkan tangannya. Mereka saling bekerja sama dalam mencari uang. Karena kemiskinan inilah yang membuat mereka harus turun ke jalan. Sebab jika tinggal di rumah, belum tentu mereka semua mendapat makanan. Di jalan mereka menerima pemberian orang bisa berupa uang atau bungkusan nasi.

Aku di sini untuk cinta
Memenangkan hati kalahkan dunia
Aku berdiri untuk cinta
Menangkan  hati menangkan cinta
Cinta

     Sambungan lagu di atas, mengingatkan saya bahwa kehadiran bu Susu dan anak-anaknya di perempatan Dieng adalah untuk cinta. Sepanjang hari mereka harus berdiri dan berjalan kian kemari meminta belas kasihan dari orang lain. Usaha yang mereka lakukan adalah demi cinta. Terutama bu Susu, ia bekerja demi anak-anaknya. Demikian juga Ria dan Evi bekerja untuk membantu ibunya. Mereka saling membangun dan menghidupi satu sama lain. Salah satu contoh nyata yaitu mereka bekerja bersama untuk mencari nafkah demi keluarga mereka.
     Pernah pada suatu ketika, bu Susu menangis di depan saya. Saya sendiri berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis. Saya hanya menangis dalam hati. Tangisan bu Susu disebabkan oleh beban keluarganya. Selama dua hari ia dan keluarganya tidak makan. Ria dan Evi terus menangis meminta makan. Pada saat itu pula, mereka tidak mempunyai uang. Yang ada pada mereka hanyalah nasi basi. Ria dan Evi tidak mau makan nasi basi karena sudah mulai berair dan mengeluarkan bau yang tidak enak. Usaha dari bu Susu yaitu meminta uang dengan cara meminjam. Ia ingin meminjam uang dari saudaranya. Saudaranya juga seorang pengemis yang berada di perempatan Dieng. Permintaan bu Susu ini tidak dikabulkan karena saudaranya juga tidak mempunyai uang. Akhirnya pada hari kedua, di sore hari saudaranya yang lain yang adalah pengemis memberi ia uang sebesar Rp. 5.000,- dari uang miliknya yang adalah Rp. 10.000,- Bu Susu merasa bersyukur karena anak-anaknya dapat makan meskipun dengan sedikit nasi dan indomie. Ia berkata kepada saya, “Bel, saya sungguh kasihan melihat Evi dan Ria makan. Sebab mereka seperti orang yang sangat kelaparan dan baru saja mendapat makanan.” Selain itu, dia juga mengatakan, “Aku tegar, Bel, menghadapi cobaan yang Tuhan berikan. Sebab dengan ketegaran ini aku mencintai kedua anakku. Cinta menjadi kekuatan hidupku. Tanpa cinta mungkin tidak ada orang yang memberi kami nafkah meskipun dengan uang receh dan bungkusan nasi.”
     Saya sungguh terharu mendengar cerita dari bu Susu mengenai pengalamannya. Saya menyadari bahwa kehadiran saya saat HOM bukan membantu mereka secara jasmani, melainkan menjadi kresek hitam bagi mereka untuk menyimpan ketidaknyamanan hidup mereka. Dan yang tidak kalah pentingnya yaitu belajar hidup dari hidup mereka.

Linang air mata besarkan jiwaku
Aku berlari dengan cintaku
Aku harus kuat mewujudkan
Mimpiku…

     Suka duka hidup sebagai pengemis adalah makanan yang selalu mereka terima. Kesesakan jiwa harus dialami karena air mata terus saja berlinang. Menjalani hidup sebagai pengemis bukanlah sebuah mimpi untuk hidup mereka. Tidak ada orang yang mau menjadi pengemis selain karena terpaksa. Dilihat dari strata sosial, pengemis adalah strata yang terendah. Ini membuat malu. Dalam kenyataan hidup, keberadaan mereka sering tidak dianggap. Keseharian mereka dianggap sebagai sampah jalan dan harus dibuang. Inilah pernyataan yang saya dengar dan lihat sendiri dari hidup mereka. Berdasarkan pengalaman mereka, mereka pernah ditangkap oleh satpol PP ketika sedang berada di jalan untuk mengemis. Inilah pengalaman duka dari mereka yang terus membuat mereka lebih berhati-hati lagi supaya tidak tertangkap.
     Pengalaman bersama orang miskin ingin mengatakan kepada saya bahwa hidup bukanlah sebuah keluhan. Tuhan menciptakan manusia untuk hadir di dunia bukan untuk mengeluh melainkan untuk bersyukur akan segala anugerah cinta-Nya yang telah Ia berikan kepada saya. Selain itu kehidupan orang miskin memberi suatu nilai Injil. Mereka adalah Injil yang hidup bagi setiap orang yang mau dekat dengan mereka. Sebab dari mereka saya menerima nilai-nilai kehidupan; ada iman, harapan, dan kasih. Pengalaman hidup mereka menginjili hidup saya. Inilah suatu pengalaman terindah yang saya alami; pengalaman bisa bersama orang miskin.   Kekuatan cinta membuat seseorang memilki mimpi dalam hidupnya. Untuk mengejar mimpi perlu suatu ketegaran hidup. Situasi hidup tidak bisa diramalkan tetapi bisa dirasakan. Merasakan situasi hidup berarti mempunyai hati untuk mencintai dengan kasih yang dimiliki. Situasi yang dialami dapat diubah oleh mimpi. Dalam bahasa iman mengatakan bahwa mimpi hidup inilah yang disebut harapan. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh St. Paulus, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!” (Bdk 1 Kor 9:24). Demikian juga orang miskin yang saya jumpai, mereka berusaha untuk mewujudkan hidup mereka supaya mendapat hidup yang lebih baik lagi. Ketegaran hidup yang mereka miliki ingin mengatakan bahwa, “Aku harus juara dalam pertandingan hidup dengan membawa iman dan harapan yang aku miliki serta dihidupi oleh semangat kasih.”
    




[1] (kemenangan Cinta) Lagu yang diciptakan oleh Anang Hermansyah dan dibawakan oleh Citra Idol pada malam grand final.
[2] Kegiatan novis CM yang dilaksanakan setiap hari Minggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...