Selasa, 23 Agustus 2011

Cerpen


Kucari Sesuap Nasi Untukmu
Habel Melki Makarius, CM

Akhir-akhir ini cuaca begitu panas. Entah mengapa pada tahun ini musim kemarau sangat lama sehingga di mana-mana terasa gerah pada siang hari. Begitu juga di perempatan jalan, tepatnya di perempatan Dieng, tampak banyak ibu-ibu berdiri di sana. Mereka adalah segerombolan pengemis yang setiap hari meminta-minta kepada setiap pengemudi sepeda motor atau mobil yang lewat di depan mereka. Di bawah panas teriknya matahari, seorang ibu dengan tangan kasarnya selalu terulur untuk meminta sepeser uang receh. Dilihat dari penampilannya, ia seorang yang sehat karena badannya sangat gendut. Tetapi gendutnya seseorang tidak menjamin sehatnya seseorang. Banyak penyakit yang dideritanya selama ini. Ini tidak juga mengurangi semangatnya untuk terus meminta belas kasih dari tangan-tangan lembut yang mau memberi sepeser uang logam demi hidupnya dan anak-anaknya.
 Semakin siang, panas terik matahari itu semakin menyengat kulit. Kulit yang terkena sinar hanyalah kulit wajah dan telapak tangan, karena seluruh badan yang lain ditutupi oleh kain. Banyaknya lapisan baju yang dipakai membuat badan semakin gerah dan mengeluarkan banyak keringat. Sehingga basahlah baju yang menutupi seluruh badannya. Langkah kaki semakin lunglai, tenaga sudah banyak terkuras karena selalu berjalan mondar-mandir dari satu mobil ke mobil yang lain. Perut sudah mulai terasa keroncongan, tetapi hingga siang ini belum ada yang memberi makanan. Meskipun tenggorokan sudah kering, ia hanya meneguk  sebotol air yang diambil dari kran yang ada di sekitar jalan Raya Dieng.  
     Di balik usahanya yang dari tadi mengemis, ada hal lain yang ia pikirkan. Suasana hatinya kadang-kadang kacau karena memikirkan anak-anaknya belum makan sedari pagi. Tangisan anak-anaknyalah yang membuat ia harus bekerja di jalan sebagai seorang pengemis. Kehidupan sebagai seorang pengemis telah lama ia jalani. Sejak kecil sampai sudah memiliki anak sekarang ini tetap saja mengemis. Kehidupan seperti ini kadang-kadang membuatnya harus menangis karena memikirkan nasib yang menimpa dirinya. Kadang-kadang pula harus bersyukur dan bahkan tersenyum karena mendapat pemberian dari orang yang baik. Pemberian terbesar yang diterima hanyalah Rp. 5.000,- Dan itu bahkan membuatnya menangis terharu. Mengapa? Karena jarang sekali orang memberi sampai Rp. 5.000,- Yang paling sering diterima yaitu Rp100 uang logam. “Inilah rejeki,” katanya. Pemberian yang ia terima ini tentu sangat berguna bagi dirinya dan anak-anaknya.
Dia adalah bu Susu. Sebenarnya namanya bukanlah Susu melainkan Supriatin. Karena dua huruf awal namanya adalah “Su” maka di panggil Susu. Disebut Susu supaya lebih mudah dipanggil oleh teman-temannya, yang semuanya pengemis, di perempatan Dieng. Bu Susu mempunyai dua orang anak, namanya Ria dan Evi. Kedua-duanya masih kecil dan duduk di bangku SD. Kedua anaknya ini selalu bersama dengan dia di jalan untuk mengemis. Berbeda dengan bu Susu, Ria dan Evi meminta uang receh dengan menggunakan tamborin. Sedangkan bu Susu hanya dengan mengulurkan tangannya. Mereka saling bekerja sama dalam mencari uang. Karena kemiskinan inilah yang membuat mereka harus turun ke jalan. Sebab jika tinggal di rumah, belum tentu mereka semua mendapat makanan. Di jalan mereka menerima pemberian orang bisa berupa uang atau bungkusan nasi.
Hari ini sungguh merupakan hari yang tidak membawa keberuntungan bagi usaha mereka. Sejak pagi mereka belum mendapatkan sebungkus nasi padahal sudah dua hari ia dan keluarganya tidak makan. Ria dan Evi, anak-anaknya terus menangis meminta makan. Pada saat ini pula, mereka tidak mempunyai uang. Yang ada pada mereka saat ini hanyalah nasi basi yang dibawa dari rumah. Ria dan Evi tidak mau makan nasi basi karena sudah mulai berair dan mengeluarkan bau yang tidak enak.
Karena kasihan melihat anak-anaknya yang terus menangis karena kelaparan, oleh sebab itu, ia berusaha meminta uang dengan cara meminjam. Ia ingin meminjam uang dari saudaranya. Saudaranya juga seorang pengemis yang berada di situ. Permintaan bu Susu ini tidak dikabulkan karena saudaranya juga tidak mempunyai uang. Ia terus berusaha meminta uang saudaranya yang lain yang adalah pengemis juga. Secara kebetulan saudaranya yang satu ini memiliki uang sedikit hasil usahanya hari ini sehingga memberi ia uang sebesar Rp. 5.000,- dari uang miliknya yang adalah Rp. 10.000,-
Bu Susu merasa bersyukur karena anak-anaknya dapat makan meskipun dengan sedikit nasi basi dengan terpaksa dengan semangkuk indomie yang dibeli dari warung terdekat. Melihat Evi dan Ria makan, bu Susu megeluarkan air mata karena mereka makan  seperti orang yang sangat kelaparan dan baru saja mendapat makanan. Selain itu, dalam hati dia juga mengatakan, “Aku harus tegar menghadapi cobaan yang Tuhan berikan. Sebab dengan ketegaran ini aku mencintai kedua anakku. Cinta menjadi kekuatan hidupku. Tanpa cinta mungkin tidak ada orang yang memberi kami nafkah meskipun dengan uang receh dan bungkusan nasi. Inilah tanggung jawabku sebagai orang tua yang dipercayai oleh Tuhan untuk menjaga dan memberi makanan untuk anak-anakku meskipun dengan sesuap nasi basi. Sesuap nasi pasti berharga bagi mereka, hidup mereka.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...