Jumat, 02 September 2011

Di Sana Aku Belajar Menjadi Misionaris


Fr. Habel Melki Makarius, CM
Refleksi Misi Umat Vinsensian 2011


Pengalaman Pertama?
            Pengalaman saya untuk terlibat dalam Misi Umat Vinsensian, ini adalah yang pertama kalinya. Suatu kegembiraan karena boleh ambil bagian dalam pelayanan kepada umat di stasi di mana saya ditugaskan. Misi Umat Vinsensian pertama-tama saya artikan sebagai pendalaman akan perjumpaan saya dengan umat yang saya jumpai atau kunjungi. Bekal-bekal yang sudah diberikan ketika mengikuti lokakarya-lokakarya ternyata memberi sumbangsih kepada saya ketika menjalani Misi Umat. Saya harus belajar dari pengalaman maupun penjelasan supaya saya benar-benar siap di hari halnya.
            Pada misi umat ini saya ditugasi di tempat yang benar-benar baru bagi saya, baik lingkungan, kehidupan umat, tradisi, budaya, dan bahasa. Itu semua tidak menyurutkan semangat saya untuk datang ke tempat itu. Apalagi kekurangan informasi akan tempat yang saya ditugaskan tidak membuat saya takut atau down spirit.  Justru ini dapat memberi hal-hal baru bagi pengalaman hidup saya. Tidak ada sedikit pun ketakutan dalam diri saya. Saya dapat belajar dari hal-hal baru yang saya jumpai dan alami. Dan yang terpenting bagi saya yaitu “Di sana saya akan melayani Tuhan.”.

Tentang Di Sana
            Genjong. Inilah tempat di mana saya ditugaskan. Sebuah stasi yeng letaknya agak jauh dari pastoran paroki St. Petrus dan Paulus, Wlingi. Genjong letaknya tepat di bawah kaki Gunung Kawi. Ketika dalam perjalanan, saya sudah membayangkan bahwa tempat ini terletak di sebuah lereng gunung dan dengan cuaca yang dingin sebab termasuk daerah pegunungan. Apalagi di kiri-kanan jalan terdapat berbagai jenis perkebunan seperti kopi, cengkeh, coklat, dan karet. Dalam hati saya mengatakan bahwa selama sepuluh hari saya akan menjadi “Orang Gunung”. Seorang ”Anak sungai” yang bermutasi ke gunung. Setelah sampai di tempat tujuan, Genjong, apa yang saya pikirkan ternyata tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Sehingga tidak menyebabkan keterkejutan yang luar biasa dari diri saya. Hal yang pertama yang akan saya buat dengan diri saya yaitu mencoba bersahabat dengan situasi dan kondisi di Genjong.
            Umat Genjong sangat bersahabat dan dengan cepatnya menerima kehadiran kami (Fr. Diakon Yoyok dan Saya). Kedatangan kami menjadi suatu kerinduan yang ada di tengah-tengah mereka. Memang di stasi ini setiap tahunnya selalu ada seminaris dari Garum yang ditugasi di sana, tapi yang menjadi kegembiraan bagi mereka terhadap kedatangan kami yaitu  tujuan dari kedatangan kami.
Umat di sini mengerti akan latar belakang saya yang tidak terlalu tahu Bahasa Jawa. Selain itu saya juga tidak malu mengakui bahwa saya tidak tahu Bahasa Jawa. Sikap pengertian dari umat Genjong ini semakin memberi semangat kepada saya bahwa soal bahasa tidak menjadi persoalan. Yang terpenting bagaimana saya bisa menjalin relasi dengan mereka.   
Antusiasme mereka terhadap acara misi umat ini sangat besar. Mereka mengharapkan sesuatu yang bisa menyentuh dan menggerakkan kehidupan menggereja umat di stasi ini. Oleh sebab itu, ini menjadi tanggung jawab kami untuk bisa memberi apa yang mereka harapkan. Dilihat dari segi pengalaman, saya bukanlah apa-apa. Saya baru saja berkecimpung dalam misi umat. Tapi harapan besar saya terletak pada Fr. Diakon Yoyok yang sudah lama berkecimpung di sana. Ini bukan berarti pula bahwa kehadiran saya tidak berarti apa-apa melainkan bagaimana usaha saya dalam membantu beliau supaya apa yang menjadi tema Misi Umat Vinsensian ini dapat sampai kepada umat dengan baik dan mudah diterima oleh mereka.
Kalau bicara mengenai kehidupan keseharian umat Genjong yaitu hampir sama setiap harinya dan setiap keluarga. Karena mayoritas penduduknya adalah petani maka pekerjaan mereka juga sama yaitu bertani. Soal pekerjaan mereka tidak menjadi persoalan bagi saya karena dari kecil saya sudah hidup dalam lingkungan petani. Hanya saja jenis cocok tanam yang berbeda. Ini disesuaikan dengan lingkungan dan cuaca yang berbeda dari tempat saya tinggal. Umat di sini bercocok tanam kopi, cengkeh, dan jenis tanaman lain yang cocok di daerah pegunungan. Adapula umat yang mengelola hewan ternak seperti sapi perah dan kambing sebagai mata pencaharian lainnya, ini tidak semua dimiliki oleh umat di sana. Tentu soal perternakan inilah yang merupakan sesuatu yang baru lainnya dalam pengalaman hidup saya. Oleh sebab itu hampir setiap pagi saya disuguhi susu sapi segar yang baru saja diperas, setelah melalui proses pemanasan.
Kehidupan umat dari pagi sampai siang yaitu bekerja di perkebunan teh. Oleh sebab itu, pada pagi hari kegiatan kami yaitu evaluasi bersama, doa pagi, dan menulis laporan sebab umat tidak ada di rumah karena semuanya bekerja di perkebunan itu. Dari pekerjaan ini mereka mendapat upah sebesar Rp. 15.000,00-. Dari muda sampai tua pergi ke sana kecuali anak-anak yang masih kecil dititipkan kepada orang-orang yang sudah lanjut usia yang tidak mampu lagi berjalan jauh. Sepulang dari perkebunan teh, mereka mengerjakan kebun mereka sendiri. Ada yang pergi ngarit (mencari rumput untuk makan ternak) atau ngramban (mencari daun untuk makan ternak). Kegiatan seperti ini menjadi rutinitas keseharian mereka. Maka semua jenis pertemuan dilakukan pada malam hari sedangkan kunjungan dilakukan secara berpindah-pindah setiap hari dari satu rumah ke rumah sekaligus tidurnya para misionaris.

Aku Belajar
Pengalaman misi umat selama sepuluh hari di stasi Genjong ternyata mengasyikkan hati saya. Apa yang dapat saya pelajari? Ketika harus melihat situasi umat yang seperti itu, rutinitas keseharian mereka, gaya hidup mereka, dan lebih dalam lagi yaitu hidup beriman mereka membuat saya harus belajar atau menimba hal-hal penting bagi perjalanan hidup saya. Misalnya usaha mereka dalam mencari nafkah yang mulai dari subuh sekali sampai sore harus bekerja baik melalui sebagai orang upahan atau tidak. Usaha keras ini tentu mempunyai tujuan yang tidak lain  yaitu bertahan hidup. Dalam sharing sebuah keluarga mengatakan bahwa pekerjaan yang sedemikian sibuknya ini, terkadang membuat mereka lupa akan Tuhan. Hari Minggu yang sebenarnya adalah hari yang dikhususkan untuk istirahat supaya dapat pergi kapel justru menjadi hari yang bagi mereka digunakan untuk mencari uang. Melihat hal ini, saya merefleksikan kehidupan saya apakah yang telah saya lakukan selama ini terhadap kesibukan-kesibukan saya, melupakan atau sebaliknya?
Di sisi lain, ada umat yang meskipun sudah lanjut usia tetap bersemangat untuk datang ke Gereja dan masih kuat bekerja. Kehidupan iman umat yang seperti ini tentu memberi kesegaran bagi kehidupan iman saya pula. Saya seorang religius belum tentu mempunyai iman yang baik, oleh sebab itu iman seorang awam dapat saya contohi.
Hal lain yang saya pelajari yaitu hal-hal praktis dalam kehidupan sehari-hari seperti bahasa, budaya, dan jenis pekerjaan mereka seperti memeras susu sapi, menggiling kopi. Hal-hal praktis ini berguna bagi saya karena dengan cara ini saya bisa mengerti dan merasakan pekerjaan mereka, hidup mereka. Lebih dari pada itu, saya memperoleh sedikit pengetahuan tentang hal-hal itu dengan cara merasakan dan mencobanya.   

Menjadi Misionaris  
            Suatu usaha yang tidak kalah menariknya yaitu belajar menjadi misionaris. Sebelumnya saya ingin mengajak melihat kembali makna misi umat pada zaman St. Vinsensius. Misi umat pada waktu itu diartikan sebagai suatu pelayanan imam-imam lazaris ke desa-desa yang ada di Paris. Di sana mereka melakukan misi seperti memberi pengajaran-pengajaran iman, katekismus, pelayanan sakramen-sakramen maupun sakramental lainnya. Mereka mengunjungi setiap umat yang ada di sana sekligus tidur di rumah umat. Berawal dari misi umat yang dilakukan oleh St. Vinsensius inilah, lahir karya besar yaitu misi Ad Gentes. Sebenarnya misi-misi yang dilakukan di desa-desa sekitar Paris merupakan tonggak dari karya misi imam-imam lazaris. Oleh sebab itu perkembangan misi yang begitu pesat ini menjadikan serikat kita supaya terus menghidupkan semangat misi.
            Di Genjong saya belajar menjadi seorang misionaris. Seorang misionaris saya artikan sebagai sebuah pengabdian dan pelayanan. Pelayanan semata-mata bukan karena kepentingan saya sendiri atau pemuasan nafsu saya melainkan sebuah kesadaran akan kebutuhan orang miskin. Misi umat ada karena adanya kemiskinan baik jasmani maupun rohani. Demikian pula situasi umat di Genjong yang saya jumpai, saya menemukan kemiskinan-kemiskinan yang seperti itu. Dengan demikian dibutuhkan misionaris seperti yang diharapkan oleh santo Vinsensius.
            Setiap pelayan misi di sana sangatlah berarti bagi hidup panggilan saya. Saya merasa bahwa kehadiran saya di tengah-tengah umat juga memberi dampak positif bagi hidup saya. Terutama bagaimana saya mencintai panggilan saya serta menumbuhkan semangat seorang misionaris. Sungguh Tuhan membutuhkan orang-orang yang mau bersedia melanjutkan karya keselamatan-Nya di tengah-tengah dunia ini.
               

Kamis, 01 September 2011

Belajar Dari Hidup Orang Lain

Judul buku     : Suster Rosalie Rendu, PK
Pengarang      :

Masa kanak-kanak
            Yohana Maria Rendu lahir pada tanggal 9 September 1786, di desa Confort, daerah Gex, wilayah Jura. Dia anak pertama di antara empat anak puteri. Orang tuanya sederhana yang mempunyai beberapa ladang di daerah pegunungan, cukup mampu dari sudut ekonomi dan mempunyai nama baik di seluruh desa. Yohana Maria mendapat Sakramen Baptis, pada hari kelahirannya di Gereja Paroki Lancrans. Pada saat Yohana Maria Rendu baru berusia tiga tahun, meletuslah Revolusi Perancis. Terjadi pengejaran para imam. Rumah keluarga Rendu menjadi tempat perlindungan bagi para imam refrakter (inilah julukan mereka yang menolak konstitusi sipil bagi para imam). Dalam suasana penuh resiko ini, Yohana Maria mendapat pembinaan.  Komuni pertama diterimanya pada malam hari, di gudang anggur bawah tanah, diterangi oleh cahaya lilin. Kematian ayah, 12 Mei 1796, serta kematian adiknya yang baru berumur empat bulan, pada tanggal 19 Juli tahun yang sama, membawa kekacauan luar biasa dalam keluarga. Yohana Maria sadar akan tanggung jawabnya sebagai puteri yang tertua, membantu ibunya, secara khusus untuk merawat adik-adiknya.

Panggilan
            Setelah masa penuh ancaman berakhir, pelan-pelan suasana damai sungguh terasa dan hidup mulai berjalan seperti biasa. Selama 2 tahun, Yohana Maria tinggal di biara Suster Ursulin di Gex setelah diantar oleh ibunya. Waktu ia berjalan-jalan ia melihat ada rumah sakit yang dikelola oleh suster-suster PK. Maka ia membantu para suster di sana dengan persetujuan ibunya. Di sinilah panggilannya sebagai PK mulai tumbuh.
            Pada tahun 1802, ia ingin pergi ke Paris untuk masuk PK dengan sahabatnya Armanda Jacquinot. Niatnya ini di dukung oleh ibunya dan pastor parokinya, Rm. De varicourt, pastor paroki Gex. Ibunya sungguh terharu dan bergembira karena panggilan anaknya.

Di tengah suster PK
            Pada tanggal 25 Mei 1802 Yohana Maria masuk rumah induk PK di rue du Vieux Colombier di Paris. Saat itu ia hampir genap 16 tahun. Kedatangan Yohana maria dan kawan-kawannya disambut oleh 50 pemudi yang sedang menjalani masa pembinaan.

Di daerah Mouffetard
            Ia bersemangat sekali untuk terjun dalam kegiatan, melayani di daerah Mouffetard. Daerah ini sangat menonjol karena kemiskinannya. Kemiskinan dalam bentuk psikologis dan rohani, penyakit, kelaparan, perumahan yang tidak memenuhi syarat dari segi kesehatan. Ia mendapat nama Suster Rosalie. Ia membantu pelayanan di jalan-jalan dan mengajar membaca anak-anak puteri yang diterima di sekolah tanpa bayar. Tahun 1807, ia dan para suster yang lain mengucapkan kaul untuk membaktikan diri demi pelayanan bagi kaum miskin.

Pimpinan komunitas di pondok amal
            Pada tahun 1815 Suster Rosalie menjadi pimpinan dalam komunitas yang tinggal di rue des Francs Bourgeoies. Dalam tugas yang baru ia bisa tampil dengan segala bakatnya: pengabdian, kewibawaan, kerendahan hati, belaskasihan, kemampuan berorganisasi. ia mengutus suster-susternya kepada semua tempat tersembunyi di paroki Sant-medard untuk membawa makanan, pakaian, obat dan untuk bercakap-cakap dengan dengan orang miskin, agar dengan demikian mereka bisa mendengarkan kata-kata penghiburan. Ia juga membuka balai pengobatan, apotik, sekolah, asrama untuk anak yatim piatu, pondok penitipan bayi, pusat pembinaan untuk wanita muda yang menjadi buruh dan panti untuk merawat orang-orang tua. Secara khusus dia memberi perhatian kepada para suster dan para imam yang mendapat gangguan psikis. Surat-suratnya memang singkat tetapi mengharukan, karena mengungkapkan perasaannya yang halus, kesabarannya dan rasa hormat kepada orang-orang sakit. Sehingga dalam waktu singkat namanya menjadi terkenal di semua wilayah ibukota, dan juga di luar, di kota-kota Perancis.
            Ada tantangan yang ia hadapi yaitu wabah kolera, dan kurangnya kebersihan karena kemiskinan. Pada tahun 1832 dan 1846, ia dan para suster yang lain turun ke jalan-jalan untuk memungut jenazah-jenazah yang terkena penyakit kolera dan kemiskinan lainnya.

Menjelang akhir hidup
            Kesehatan Suster Rosalie tak pernah mantap. Tetapi dia tak merasa perlu minta istirahat. Selama dua tahun terakhir hidupnya sedikit demi sedikit dia menjadi buta, dan setelah masa sakit yang singkat, wafat pada tanggal 7 Februari 1856. Banyak orang menyaksikan upacara pemakaman beliau di pemakaman Montparnasse.
            “Dalam mimpi saya merasa berada di depan pengadilan Allah. Dengan sikap yang sangat tegas Dia menyambut saya dan sudah siap untuk mengumumkan hukumanNya bagi saya. Tetapi tiba-tiba saya merasa dikelilingi oleh massa besar orang-orang yang memakai sepatu tua, sandal, topi, yang ditunjukkan kepada Allah sambil berkata: “Suster inilah yang telah memberikan semuanya ini kepada kami”. Setelah itu Yesus Kristus memandang saya dan berkata: “Berkat semua barang bekas ini, yang telah diberikan atas namaKu, saya membuka bagimu pintu firdaus. Masuk ke dalam surge untuk selama-lamanya”.
            Dari surat Suster Rosalie kepada Armand de Melun, pengarang riwayat hidupnya yang pertama.

Makna Penantian

Mencari Makna Penantian

Henri J.M. Nouwen
By. Fr. Habel Melki Makarius, CM


            Banyak orang berpendapat bahwa menanti adalah sikap pasif atau sama dengan membuang-bunag waktu. Pemahaman demikian ini disebabkan oleh budaya kita yang lebih cenderung mengukur segala sesuatu berdasarkan hasil yang tampak.

            Menanti bukanlah sikap yang populer. Pada umumnya menanti bukanlah hal yang menyenangkan. Bagi banyak orang menanti berarti berada di padang gurun. Padang gurun itu terletak di antara tempat berada mereka sekarang dengan tempat kemana mereka akan pergi.
            Pada jaman kita sekarang ini menunggu masih lebih sulit lagi karena kita merasa takut. Orang takut akan rasa hatinya sendiri, takut akan orang lain, takut akan masa depan. Orang yang hidup dalam suasana takut lebih cenderung untuk memberikan tanggapan yang agresif, bermusuhan dan destruktif dibandingkan dengan orang yang tidak diliputi rasa takut. Semakin kita takut, semakin sulit pula kita menanti. Itulah sebabnya tidak banyak orang yang sabar menanti.
            Contoh pribadi-pribadi dalam Injil Lukas yang sabar menanti adalah Zakharia dan Elisabet, Maria, dan Simeon dan Hana. Panggung Injil Lukas dipenuhi dengan pribadi-pribadi yang menanti. Mereka pertama kali mendengar sapaan malaikat yaitu “Jangan takut”. Mereka menanti datangnya sang Mesias. Dan mereka pula sisa-sisa Israel yang percaya bahwa Mesias akan datang.
            Sebagaimana dapat kita lihat dalam diri pribadi-pribadi yang tampil pada bab-bab awal Injil, menanti berarti mengharapkan terpenuhiya janji-janji. Orang yang menanti adalah orang-orang yang menerima janji. Inilah yang membuat mereka mampu menanti. Oleh karena itu, menanti tidak pernah berarti menanti sesuatu yang bergerak dari yang tidak ada menjadi ada. Menanti selalu menunjuk pada suatu gerak dari sesuatu menuju sesuatu yang lebih.  
            Kedua, menanti adalah sikap aktif. Banyak orang berpikir bahwa menanti adalah sesuatu yang amat pasif. Orang yang menanti tidak mempunyai harapan karena ia ditentukan atau tergantung pada peristiwa-peristiwa yang tidak dapat ia kuasai. Dalam Kitab Suci, sikap pasif yang menunggu tidak kita jumpai. Yang kita jumpai adalah pribadi-pribadi yang menanti dengan amat aktif. Rahasia penantian adalah keyakinan bahwa benih sudah ditaburkan, bahwa sesuatu sudah mulai dan sedang terjadi. Menunggu secara aktif berarti hadir secara penuh “kini dan di sini” karena yakin ada sesuatu yang sedang terjadi pada saat ini dan tempat ini, dan Anda ingin mengalaminya.
            Orang yang menanti adalah orang yang sabar. Kata “sabar” berarti kesediaan untuk tinggal di tempat kita berada, menghayati kenyataan itu secara penuh karena yakin bahwa sesuatu yang tersembunyi akan menampakkan diri kepada kita. Hidup yang sabar berarti hidup secara aktif “kini dan di sini” dan menanti.
            Penantian mempunyai akhir yang terbuka. Penantian dengan akhir yang terbuka seperti ini tidak mudah bagi kita karena cenderung untuk menantikan sesuatu yang amat konkret, sesuatu yang ingin kita miliki. Penantian-penantian kita pada umumya disertai dengan berbagai keinginan. Menanti dengan tetap menerima akhir yang terbuka adalah sikap yang sungguh radikal terhadap kehidupan. Menanti dengan sikap ini berarti percaya bahwa sesuatu yang tidak mampu kita bayangkan akan terjadi pada kita. Orang yang demikian melepaskan keinginan untuk menguasai masa depannya dan membiarkan Allah yang menentukannya. Hidup rohani adalah hidup di mana kita menanti, secara aktif dan hadir “kini dan di sini”, sambil menanti bahwa hal-hal baru itu jauh melampaui yang dapat kita bayangkan dan perhitungkan. Ini adalah suatu sikap radikal terhadap kehidupan, yang perlu dibangun dalam dunia yang selalu ingin mengatur, menguasai, dan menentukan.
            Sikap menanti diwujudkan dalan hidup doa. Doa adalah latihan hidup rohani di mana kita menanti dan berserah kepada kehendak Allah. Selanjutnya sikap penantian kita selalu dibangun dengan kesiapsiagaan kita mendengarkan sabda. Menanti berarti yakin bahwa seseorang akan menyapa kita. Simon Weil, seorang penulis Yahudi berkata “Menanti dengan sabar sambil berharap adalah landasan hidup rohani.”
            Dalam sebuah buku yang berjudul The Stature of Waiting, ditulis oleh seorang berkebangsawan Inggris, V. H. Vanstone. Ia menulis mengenai penderitaan Kristus di Taman Getsemani dan Jalan salibNya. Tulisan ini memberi arti bahwa sikap penantian adalah beralih dari bergiat (action) masuk ke dalam penderitaan (passion). Menderita adalah sebentuk penantian-penantian apa yang akan dilakukan orang lain. Yesus saat tergantung pada kayu salib memberi arti bahwa Ia menanti dengan ucapanNya “sudah selesai”.
            Allah dalam diri Yesus Kristus menantikan tanggapan kita terhadap kasih ilahi-Nya, lalu kita dapat menemukan perspektif baru dalam menanti. Kita dapat belajar menjadi orang yang taat, yang tidak selalu ingin kembali berkarya atau bergiat, tetapi mampu menangkap kepenuhan hidup kita sebagai manusia dalam penderitaan, dalam penantian. Dengan demikian, spiritualitas menanti tidak hanya berisi penantian kita akan Allah, tetapi juga keikutsertaan kita dalam penantian Allah akan kita. Dengan cara itu kita ikut merasakan kasih yang paling dalam, yaitu kasih Allah sendiri.

Memahami Panggilan

  Belajar Memahami Panggilan Bersama Santa Teresia Benedikta Dari   Salib


I.                    Pendahuluan
Santa Teresia Benedikta dari Salib, yang bernama kecil Edith Stein, dikanonisasi oleh tahta vatikan pada tanggal 11 Oktober 1998. Ia adalah seorang santa yang sangat intelektual. Kemampuan intelegensinya tidak diragukan lagi saat ia menyelesaikan pendidikan tingkat doktoralnya di bidang filsafat fenomenologi dengan prestasi summa cum laude.
Hidup membiara Edith Stein hanya berlangsung selama 9 tahun. Ia memulai hidup membiara pada saat berusia 42 tahun, di biara karmelitas OCD di Cologne Jerman. Pada masa itu ia sedang pada puncak karirnya sebagai seorang filsuf. Banyak hal telah ia lakukan dan ia juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan baik yang bersifat ilmiah, maupun rohaniah.
Hidup rohani Edith Stein sangat menarik, karena pada awal mula hidupnya ia seorang penganut agama Yahudi. Pada perkembangannya, karena pemikirannya yang selalu bertumpu pada rasio, ia beralih menjadi seorang atheis praktis. Ia tidak melihat lagi fungsi doa. Kemudian pada usianya yang ke 21 tahun, ketika ia menjadi manusia filsafat, ia tertarik akan nilai-nilai Kristen. Selajutnya ia dibabtis menjadi seorang katolik, setelah melalui masa-masa sulit untuk menetapkan keputusan. Edith Stein merasa mendapat panggilan untuk menjadi seorang biarawati. Untuk itu ia menghubungi bapa rohaninya. Ternyata ia harus menunggu selama beberapa waktu untuk mematangkan panggilan tersebut. Pada tahun 1933, ia memulai hidupnya sebagai biarawati kontemplatif. Hidupnya berakhir saat ia wafat sebagi seorang martir, pada tanggal 9 Agustus 1942 di kamp konsentrasi Nazi. Ia bahagia dapat mati bagi iman dan bangsanya.

II.                  Perjalanan Rohani Edith Stein

       Edith Stein dibesarkan dalam keluarga yang pada awalnya sangat religius. Orang tuanya mengembangkan ajaran agama Yahudi dalam keluarga. Nilai-nilai moral ditamankan semenjak kecil. Selain itu pada setiap hari raya-hari raya Yahudi mereka selalu pergi ke
sinagoga untuk merayakannya. Hubungan keluarga begitu akrab dan hidup rohani begitu subur. Selain beribadat di sinagoga, mereka juga berdoa bersama di rumah, meskipun seringkali dalam bahasa Jerman dan bukannya bahasa Ibrani.
       Bagi Edith Stein, berdoa identik dengan percaya kepada Tuhan. Selama seseorang masih berdoa, ia masih mempunyai iman, tetapi kalau ia berhenti berdoa, iman tidak berarti lagi baginya. Walaupun ia menjadi atheis, Edith tetap melaksanakan kebiasaan orang Yahudi.
       Pengalaman Edith Stein yang ditangkap oleh cinta Yesus setelah membaca buku autobiografi Santa teresia dari Avila tidak berbeda dengan pengalaman Santa Teresia dari Avila sendiri saat ia membaca buku “Pengakuan” yang ditulis oleh Santo Agustinus. Edith Stein menemukan konfirmasi akan pengalaman hidupnya dalam buku tersebut. Ia memperoleh pemahaman bahwa Allah bukanlah Allah pengetahuan, melainkan Allah cinta. Allah tidak membuka misteriNya kepada mereka yang berusaha mengenalNya melalui pikiran, tetapi kepada mereka yang mau menyerahkan hatinya kepadaNya.
       Melalui buku itu Edith Stein juga mengetahui bahwa pemahamannya akan kematian tidak jauh berbeda dengan Santa Teresia dari Avila dan Santo Agustinus, yaitu bahwa bahwa kematian merupakan suatu keadaan hilangnya kebebasan untuk meyerahkan diri kepada Allah. Ketiganya juga sepaham bahwa kejujuran dan kebebasan adalah dua tantangan terbesar dalam diri manusia.
       Edith Stein menyadari bahwa ia tertarik untuk mengikuti Kristus dalam biara karmelitas OCD. Hal ini berarti bahwa ia harus berubah menjadi seorang Katolik. Edith Stein dibaptis pada tanggal 1 Januari 1922 di gereja santo Martin, Bergzabern. Dengan pindahnya ia ke agama Katolik, gaya hidupnya juga berubah. Ia yang sebelumnya adalah orang yang sangat rasional, selalu menggunakan rasio dalam memahami sesuatu, mulai memakai mata imannya. Selain gaya hidupnya, hubungannya dengan keluarga dan teman-temannya juga berubah. Anggota keluarga dan banyak di antara teman-temannya yang tidak dapat menerima keputusan Edith Stein untuk berpindah agama, meskipun mereka sadar bahwa sebelum berpindah agama, Edith adalah seorang atheis praktis.
       Perjalanan iman Edith Stein berlanjut dengan diterimanya Sakramen Penguatan pada tanggal 2 Februari 1922 dari uskup Ludwig Sebastian de Spege. Dengan sakramen ini, iman Edith Stein semakin diteguhkan dan hal ini menunjukkan bahwa ia benar-benar serius dengan imannya. Selanjutnya, Edith Stein merasa bahwa ia mendapat panggilan untuk hidup membiara, sebagaimana tokoh yang dikaguminya, Santa Teresia Avila. Ia ingin mengabdikan seluruh hidupnya pada Allah yang dicintainya dalam biara karmelitas OCD. Untuk maksud itu ia meminta Mgr. Joseph Schwin, uskup agung Speyer, untuk menjadi pembimbing spiritualnya. Sewaktu Edith Stein menyampaikan panggilannya kepada Schwin, uskup tersebut meminta Edith untuk menunda maksudnya untuk menjadi bairawati sampai Edith merasa yakin bahwa panggilannya itu tidak salah. Edith menerima saran tersebut meskipun hasratnya untuk menjadi seorang biarawati sangat menggebu-gebu.
       Pada tanggal 20 Mei 1933, Edith menerima undangan untuk pergi ke Karmelitas untuk melakukan Tanya jawab mengenai panggilannya. Pada hari itu juga ia berangkat ke sana. Ini menunjukkan bahwa ia benar-benar tertarik untuk hidup membiara. Selanjutnya pada tanggal 19 Juni 1933 Edith menerima kabar bahwa ia diterima menjadi anggota di komunitas biara Karmelitas tersebut.
       Pada tanggal 14 Oktober 1933 Edith secara resmi menjadi Postulan selam enam bulan. Pada tanggal 10 April 1934 ia menjadi novis dan mulai mengenakan jubah karmel. Namanya diganti Sr. Teresia Benedikta dari Salib. Nama Teresia dipilih karena ia sangat mengagumi pribadi dan pengalaman hidup Santa teresia dari Avila. Nama Benedikta dipilihnya karena ia mengagumi bapa rohaninya, seorang abas Benediktin; sedangkan nama dari Salib dipilihnya, karena besarnya cintanya akan Yesus yang wafat di Salib- cinta baginya dapat membuatnya menahan beban berat salib hidup, dari kaki salib ia dapat memahami nasib bangsanya, bangsa Yahudi.
       Pada tanggal 21 April 1938, Edith Stein berkaul kekal setelah menjalani masa tiga tahun profesi sementara. Pada tanggal 1 Mei 1938, ia menerima kerudung hitam dari uskup Mgr. Wilhelm Stockums sebagai tanda keanggotaan tetapnya pada OCD Karmelitas. Ia sangat berbahagia pada hari itu bukan karena perjuangannya menjadi biarawati kontemplatif telah mencapai ujung, namun karena ia dapat lebih merasakan persatuannya dengan Allah. Bagi Edith Stein Allah mengajarnya setiap hari dan menuntunnya untuk semakin bersatu denganNya dari waktu ke waktu. Kaul kekal bukanlah merupakan akhir perjuangan mengikuti Kristus baginya.
       Pada tanggal 2 Agustus 1942, pukul 17,00, Edith Stein ditangkap oleh tentara Nazi saat ia memberi renungan meditasi. Alasanya karena Nazi di Belanda mau mengelimir orang Yahudi atau kejahatan genosida, pemusnahan suatu bangsa. Ia tidak menolak saat ditangkap bahkan dengan langkah gembira ia keluar dari lingkungan biara mengikuti para Nazi tersebut. Akhirnya Edith Stein meninggal pada tanggal 9 Agustus di Auschwitz sebagai martir.

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...