Kamis, 28 Juli 2011

Hari Orang Miskin
Fr. Habel Melki Makarius, CM

Pengantar
Masa pembinaan di Seminarium Internum tidak lama lagi akan berakhir. Banyak pengalaman telah saya peroleh dalam masa pembinaan ini. Terutama dalam bidang pastoral maupun di bidang-bidang yang lainnya. Dalam masa pembinaan pastoral, saya menjalani secara langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan di luar rumah Seminarium Internum/terjun ke lapangan. Jenis kegiatannya yaitu Hari Orang Miskin (HOM). Kegiatan HOM dilakukan setiap hari Minggu dan ini merupakan salah satu kegiatan yang diwajibkan untuk selalu hadir. Kegiatan HOM bukanlah bentuk pelarian dari tugas-tugas harian/rumah. Tujuannya supaya saya bisa lebih dekat, mengenal, dan bersahabat dengan orang miskin. 
Pengalaman dalam menjalani HOM merupakan suatu anugerah yang Tuhan berikan kepada saya. Tuhan memperblahkan saya untuk bisa mengenal dan menimba nilai-nilai kehidupan melalui orang miskin. Sebab orang miskin adalah bentuk dari perwujudan Allah yang nyata di dunia ini. Tuhan hadir dalam diri pribadi orang miskin, oleh sebab itu, saya merasa bersyukur atas anugerah yang demikian besar ini. Tuhan menunjukkan kepada saya betapa besar cinta-Nya kepada saya melalui rahmat perjumpaan saya dengan orang miskin.
Melalui ini, saya ingin membagikan pengalaman saya, pergulatan saya, dan nilai-nilai yang telah saya dapatkan dalam kegiatan HOM ini. Tentu semuanya ini merupakan pemberian Tuhan dalam hidup saya. Tanpa perjumpaan dengan orang miskin, saya tidak mungkin memiliki pengalaman-pengalaman dengan orang miskin.
Laporan ini dapat saya bagikan dan tuliskan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu saya mengucapkan terima kasi kepada:
1.       Allah Tritunggal Mahakudus, yang telah memperkenankan saya untuk menjalani panggilan yang suci ini.
2.       Kongregasi Misi Provinsi Indonesia, yang telah menerima saya sebagai anggota kongregasi dan pengikut St. Vinsensius.
3.       Seminarium Internum CM, yang menjadi tempat pembinaan saya selama satu tahun ini.
4.       Rm. Antonius Gigih Julianto, CM, selaku Direktur Seminarium Internum.
5.       Rm. Gregorius Tri Wardoyo, CM, selaku Socius Seminarium Internum.
6.       Para konfrater saya, yang selalu menyemangati dan memberi masukan kepada saya untuk selalu menjalani HOM dengan setia.
Semoga dengan laporan ini, pengalaman bersama orang miskin dapat membantu saya dalam melayani Tuhan dengan semangat Kristus pewarta kabar gembira kepada orang miskin.  
Pengalaman HOM
                Sebanyak 40 kali saya melaksanakan kegiatan HOM selama pembinaan di Seminarium Internum. Saya melaksanakan HOM di perempatan Dieng. Orang miskin banyak di sana, seperti pengemis, anak jalanan, tukang becak, penjual asongan, pemulung, dan penjual Koran. Semuanya pernah saya sapa dan ajak bicara. Tapi yang menjadi tujuan utama saya yaitu pengemis dan anak-anak jalanan. Mereka selalu berada di perempatan jalan setiap minggunya. Sehingga dari perjumpaan dengan mereka setiap minggunya saya dapat mengenal diri mereka, keluarga mereka, cerita hidup dan perjuangan mereka, dan karakter mereka.
                Awal perjumpaan dengan mereka tidak sesulit yang pernah saya bayangkan. Mereka menyambut kedatangan kami (Saya dan Roby) dengan rasa persahabatan. Dari hal ini, tidak sulit bagi saya dalam membina persahabat dengan mereka karena pada dasarnya mereka adalah pribadi yang bersahabat. Ini saya temukan di setiap pribadi pengemis dan anak jalanan di sana. Meskipun dalam perjalanan waktu, mereka selalu ada yang datang dan yang pergi. Ada pribadi-pribadi tertentu yang kadang-kadang datang dan bahkan ada yang tidak lagi menjadi pengemis (Bu Iis). Dari pengalaman HOM saya mengetahui lebih banyak bagaimana kehidupan seorang pengemis. Mereka adalah korban dari situasi dunia saat ini yang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu belaskasihan dari setiap orang yang mau membantu itu. Lebih dari itu mereka tidak mencari makanan atau barang-barang duniawi melainkan perhatian dan belaskasihan yang mau menerima mereka dan menganggap mereka ada.

Ibu Supriyatin
                Selama satu tahun ini, salah satu orang miskin yang setia dan bercerita banyak tentang dirinya kepada saya yaitu bu Supriyatin. Ia biasa dipanggil bu Susu. Awal perjumpaan saya dengan dirinya ketika saya menjalani HOM saya yang ke-2. Tidak banyak bicara pada saat pertama kalinya. Saya hanya memperkenalkan siapa diri saya dan bertanya siapa dia. Saya membutuhkan banyak waktu untuk bias menjalin relasi dengan bu Susu. Ketika dilihat dari sikap luarnya, ia orang yang mudah terbuka terhadap kehidupan pribadinya dan keluarganya. Tetapi yang sebenarnya tidaklah demikian. Ia adalah orang yang tertutup dan menyimpan semua permasalahn dalam hatinya. Apalagi kepada orang yang baru dia kenal, ia tidak mungkin menceritakan permasalahannya. Oleh sebab itu hampir sebagian dari waktu satu tahun menjalani HOM ini saya baru mulai mengenal siapa dirinya.

Keluarganya
                Keluarga bu Susu adalah keluarga yang harmonis. Bu Susu dan pak Banjir (suaminya) menjalin hubungan pernikahan bisa dikatakan menikah muda, sebab bu Susu masih muda saat ini dan sudah mempunyai dua orang anak yang sedang duduk di bangku Sekolah Dasar. Awal perjumpaan mereka yaitu saat masih gadis bu Susu sudah bekerja sebagai pengemis di Alun-alun kota Malang. Kebetulan pada saat itu pak banjir juga sebagai pengamen di Alun-alun. Karena sering bertemu maka mereka menjalin relasi dalam tahap pacaran kemudian melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mereka berpacaran hanya tiga bulan lamanya, langsung menikah.
                Keluarga besar bu Susu adalah pengemis. Jadi tidak heran kalau sejak kecil bu Susu dan saudara-saudaranya bekerja di jalan-jalan sebagai pengemis. Ibunya bernama bu Nasika, seorang pengemis di perempatan Dieng juga. Dia mempunyai banyak saudara. Hampir sebagian dari saudaranya bekerja di perempatan Dieng setiap hari minggu. Sedangkan yang lainnya ada yang bekerja sebagai penjual asongan di kereta api dan bis-bis kota, dan pengemis di bis-bis kota. Jika dilihat dari sepintas lalu, tidak tampak jika mereka semua yang berada di perempatan Dieng adalah saudara, sebab keakraban antara mereka tidak tampak kalau sebagai satu saudara. Maksudnya, mereka tidak ingin menunjukkan kepada orang lain kalau mereka saudara sebab mereka malu kalau ada yang mengetahui mereka adalah satu keluarga besar sebagai pengemis. Sangat lama bagi saya baru mengetahui kalau mereka semua adalah saudara. Memang kalau ditanya tentang hubungan mereka, mereka akan sama menjawab kalau mereka beda rumah. Tidak pernah membahas kalau mereka adalah saudara kepada orang yang baru mereka kenal. Mereka salig menjaga rahasia keluarga mereka.
                Akhirnya, saya mengetahui keluarga mereka dari bu Susu. Ia sendiri yang mengatakan bahwa mereka bersama menjaga rahasia ini. Saya mengetahuinya saat pertama kali berkunjung ke rumahnya yang berada di Sukun. Ia yang menceritakan semuanya kepada saya. Dari pengalaman ini, ini menjadi langkah awal bagi saya untuk membina relasi dengan keluarga besar bu Nasika. Saya akan tahu banyak tentang kehidupan keluarga mereka, demikian yang saya pikirkan ketika mengetahui semuanya ini. Dalam arti lain saya berusaha menjadi orang yang dapat dipercaya oleh keluarga besar bu Susu. Keingintahuan tentang status hubungan para pengemis di perempatan Dieng akhirnya saya tahu.
                Pak Banjir adalah suami dari bu Susu. Ia anak pertama dari empat bersaudara. Pekerjaannya adalah pemulung. Sedangkan saudara-saudara bekerja sebagai pengemis dan anak jalanan. Saya tidak terlalu banyak tahu tentang pak Banjir sebab saya hanya bertemu dengannya ketika berkunjung ke rumahnya atau pak Banjir sendiri yang kadang-kadang datang ke perempatan Dieng. Selain itu saya juga mengenal saudara-saudaranya seperti bu Jumayah dan bu Erna yang adalah pengemis di perempatan Dieng. Sedangkan adiknya yang bungsu, sebagai anak jalanan dan sering mengikuti anak punk. Saya hanya sekali bertemu dengannya.
                Keluarga pak Banjir dan bu Susu dianugerahi dua orang anak. Anak yang pertama diberi nama Ria dan anak yang kedua diberi nama Evi. Kedua-duanya sudah bersekolah di SDN 01 Tanjung Rejo, Malang. Sekarang Ria duduk di kelas IV SD dan Evi kelas II SD. Setiap Minggu Ria dan Evi bersama dengan bu Susu mengemis di jalan. Adapun di hari lainnya dari hari Kamis-Sabtu, mereka bekerja ketika siang hari setelah Ria dan Evi pulang dari sekolah.

Kehidupan Ekonomi keluarga
                Mereka dikatakan orang miskin karena kehidupan ekonomi mereka yang sangat kurang. Hampir setiap hari mereka mengalami kekurangan. Hasil pekerjaan sebagai pengemis tidak mencukupi kebutuhan ekonomi mereka. Tetapi mereka bersyukur karena beban sekolah Ria dan Evi tidak temasuk pengeluaran keluarga mereka sebab sekolah mereka gratis. Meskipun demikian kebutuhan akan makan sangatlah penting dan sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup. 
                Rumah bu Susu terletak di Sukun. Situasi rumahnya sangatlah memprihatinkan. Lantainya yaitu semen yang kasar, berdinding gedeg, beratap seng dan diatasnya ditutup dengan terpal. Jika datang hujan pasti rumah itu akan kebocoran sebab di mana-mana terlihat sinar matahari yang masuk lewat celah-celah seng. Rumahnya tidak mempunyai WC. Perabot rumah tangga pun sangat sederhana. Rumah yang mereka tempat sekeluarga itu merupakan rumah kontrakan. Oleh sebab itu setiap tahun mereka harus membayar sebesar Rp. 980.000,00-.
Kebiasaan menabung terus saja diusahakan oleh bu Susu sebab jika melihat hasil pendapatan mereka sehari-hari, sangatlah minim dan hanya untuk makan mereka sehari. Paling tidak Rp.5.000,00- sehari dia menyimpan tabungannya di dalam celengan. Itupun kadang-kadang tidak sampai tiga bulan tabungan itu diambil sebab tiba-tiba terjadi sesuatu yang sangat membutuhkan seperti biaya berobat. Selain menabung secara pribadi, dia bergabung bersama kelompok ibu-ibu yang berada di Sukun (pengemis, pemulung, dll.) membentuk kelompok arisan selama satu minggu sekali sebesar Rp. 20.000,00-. Dengan berbagai cara dia mengelola uang supaya kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Cara-cara yang dia lakukan dapat membantu dia apabila suatu saat tiba-tiba terjadi permasalahan yang harus mengeluarkan uang.
Secara keseluruhan, dia dan keluarganya kerapkali merasa kekuragan uang. Mengharapan uang yang diperoleh dari mengemis tidaklah cukup oleh sebab itu bagaimana usaha bu Susu dan pak Banjir mencari uang dengan tidak melakukan sesuatu yang haram dan dilarang oleh agama. Mereka tetap berpegang teguh bahwa kemiskinan yang mereka rasakan saat ini merupakan anugerah dari Tuhan. Kemiskinan juga tidak membuat mereka harus berlaku jahat melainkan berpasrah diri kepada Tuhan.

Kehidupan Rohani
                Kemorosotan hidup rohani tidak selalu orang miskin rasakan. Ini merupakan pikiran orang yang menganggap orang miskin selalu mempunyai hidup rohani yang baik. Kerapkali tampak bahwa orang miskin memiliki hidup rohani yang selalu berpasrah kepada Tuhan dengan rajin berdoa (sahalat). Kemiskinan yang mereka rasakan membuat mereka bias dekat dengan Tuhan.
                Demikianlah ungkapan yang sering saya dengar tentang hidup rohani orang miskin. Setelah saya mendekati dan bersahabat dengan mereka, apa yang menjadi ungkapan tersebut berbeda dengan kenyataannya. Memang ada orang miskin yang memiliki hidup rohani yang selalu berpasrah kepada Tuhan karena kemiskinan mereka. Bertolak dari pengalaman St. Vinsensius, saya juga merasakan apa yang dialami oleh Santo kita. Awal perjumpaan dengan para pengemis di perempatan Dieng, saya belum mengenal bagaimana kehidupan mereka secara utuh. Kebetulan pada waktu itu, awal-awalnya tepat merayakan bulan puasa (Ramadhan). Ketika setiap minggu saya menjumpai mereka, saya tidak pernah melihat mereka berdoa dan berpuasa layaknya umat muslim lainnya. Seiring perjalanannya waktu, akhirnya bu Susu bercerita tentang kehidupan beragamanya.
Hampir belasan tahun ia dan keluarganya tidak pernah melakukan shalat. Jangankan shalat, doa-doa atau rumusan shalat juga tidak tahun. Kebiasaan agama juga dihilangkan. Agama mereka hanya sekadar KTP. Namun mereka percaya bahwa Tuhan itu ada. Penyebab mengapa mereka sampai kehilangan kebiasaan beragama yaitu, kemiskinan yang mereka rasakan sejak mereka dilahirkan. Tuhan tidak adil, katanya. Sudah sepanjang hidup mereka selalu merasakan kesengsaraan, dan ketidakadilan. Mereka juga merasakan dikucil ketika ingin beribadat. Dari hal ini dapat dimengerti mengapa mereka hanya beragama dalam KTP.
Dalam perjumpaan saya dengan mereka terutama bu Susu, saya mempunyai tujuan bagaimana saya dapat memperbaiki kehidupan agama mereka. Saya tidak bermaksud meminta mereka pindah agama saya, tetapi saya ingin mereka beribadat dan mengenal agama mereka secara lebih baik. Caranya, setiap minggu saya menceritakan kepada mereka bahwa sebelum mengunjugi mereka saya selalu pergi ke gereja. Sebab kalau tidak ke gereja, suasana hati tidak tenang dan rasanya kacau. Kebiasaan ini terus saya lakukan. Reaksi pertama mereka yaitu tidak menolak. Malahan bu Susu dengan bersemangat bertanya tentang agama katolik dan protestan sebab pada masa kecilnya, ia  dan saudara-saudaranya sempat dibaptis dalam gereja protestan. Saya tidak ingin mejawab pertanyaan mereka dengan penuh semangat seperti seseorang yang ingin mempromosikan agamanya. Jawaban saya justru mengarah kepada agama secara universal bahwa semua agama itu sama sebab tujuannya yaitu mencintai. Baik Kristen mapun non Kristen semuanya mengarah kepada cinta, semua manusia diminta untuk mencintai. Hanya saja cara atau bentuk peribadatannya berbeda.
Ternyata kebiasaan ini bisa secara perlahan-lahan memperbaiki kehidupan beragama mereka. Tanapa sepengetahuan saya, bu Susu mulai memperbaiki kehidupan rohaninya. Ia mulai dengan masuk menjadi anggota perkumpulan ibu-ibu di masjidnya, belajar shalat dari mereka, dan mempelajari ajaran-ajaran muslim. Saya mengetahui perubahan ini setelah beberapa bulan akan berakhirnya HOM saya. Saya melihat banyak perubahan dari awal saya masuk dalam kehidupan mereka sampai saat ini. Keceriaan sebagai orang yang beragama terpancar dalam kehidupan mereka. Akhirnya untuk saat ini mereka menjadi orang yang sungguh berharap kepada Tuhan. Bu Susu percaya dalam hidupnya bahwa Tuhan tidak pernah memberi cobaan melebihi kemampuan umatnya, selama dia masih tetap percaya kepada Allah. Kebiasaan beribadat selalu dilakukan dan kepercayaan mereka selalu dipupuk melalui mendengar ceramah dari masjid. Bu Susu tidak ingin meninggalkan shalat lima waktu. Sesibuk apapun, dia tetap melakukan shalat, atau paling tidak berdoa sejenak dan berhenti dari pekerjaannya.

Belajar dari Orang Miskin
Santo Vinsensius mengatakan bahwa orang miskin adalah guru dan majikan kita. Sebagai guru mereka memberi nilai-nilai baik bagi kehidupan kita dan sebagai majikan, mereka harus dilayani. Pengalaman HOM yang telah saya lakukan juga menjadi suatu pencarian dari apa yang dikatakan oleh Santo Vinsensius. Dari orang miskin yang saya jumpai, banyak nlai-nilai kehidupan telah saya temukan. Pengalaman bersama mereka terus saja memberi sumbangsih bagi saya bagaimana kehidupan di dunia ini. Dalam arti lain mereka inilah yang disebut sebagai Injil yang hidup dan nyata. Pernyataan ini berdasarkan pada ajaran Kristus sang pewarta kabar gembira kepada orang miskin.
Dari kehidupan bu Susu dan para pengemis lainnya di perempatan Dieng, saya menemukan banyak sekali nilai-nilai hidup yang baik yang ada pada mereka. Tidak berarti mereka adalah orang yang sempurna atau yang paling baik. Tetapi bagaimana usaha dan perjuangan mereka dalam mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Memang ada nilai-nilai yang sepertinya bertentangan dengan dunia saat ini. Tetapi saya sendiri menyaring mana nilai-nilai yang menjadi pokok kehidupan saya. Terkadang harus belajar dari pengalaman terburuk mereka.
Adapun nilai-nilai yang telah saya temukan seperti; kerja keras, bersyukur dan selalu berpasrah kepada Tuhan, bersikap ramah, saling menguatkan satu sama lain, mau berbagi, selalu bergembira dan tersenyum, mudah bersahabat, mau menerima kehadiran orang lain, menghargai, kesetiaan, tidak mudah menyerah, tahan cobaan, mudah dipercaya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Keutamaan-keutamaan ini seringkali saya lihat dari sikap dan dengar dari cerita hidup mereka. Perguatan dan usaha merekalah yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kehidupan. Seperti apa yang telah saya katakan di awal bahwa mereka bukanlah orang yang sempurna, tetapi mereka adalah orang yang dalam hidupnya banyak terdapat nilai-nilai yang mereka hidupi.
Pencarian nilai-nilai tersebut merupakan bukan unsur sengaja atau secara langsung saya bertanya nilai-nilai apa yang mereka miliki. Demikian juga dalam pergulatan hidup saya, semua nilai yang telah saya dapatkan dari orang miskin tidak secara langsung sudah ada dalam diri saya. Saya masih membutuhkan banyak waktu dan merupakan proses terus-menerus dalam hidup saya, supaya saya bisa menghidupi nilai-nilai tersebut. Perjuangan dari orang miskin member kesamaan dalam perjuangan saya, bagaimana saya membentuk diri saya dengan berjuang dalam hidup panggilan dan secara perlahan tapi pasti menanamkan nilai-nilai yang telah saya dapatkan dari mereka. Pengalaman rohani terus dipupukkan supaya menjadi dasar bagi hidup saya dalam mencintai dan melayani orang miskin.  

Penutup
                Pengalaman bersama orang miskin member rasa syukur saya yang tiada hentinya kepada Tuhan. Saya boleh mengenal dan bersahabat dengan mereka. Pengalaman ini juga menjadi motivasi bagi saya bahwa HOM tidak hanya dilakukan dalam masa pembinaan di Seminarium Internum tetapi terus berlangsung dalam kehidupan saya. Mengenal orang miskin membuka kesadaran saya bahwa panggilan yang saya geluti saat ini adalah untuk mereka sebagaimana Sang Guru sejati diutus ke dunia untuk orang miskin.
                Selain itu, apa yang telah saya temukan dalam diri mereka juga menjadi uasaha bagi saya untuk membentuk dan membina diri saya dalam terang Roh Kudus. Dari orang miskin yang adalah guru dan majikan, di situlah saya menimba nilai-nilai sebab di dalam orang miskin, Kristus hadir dan diam. Oleh sebab itu ungkapan syukur  dan terima kasih saya kepada semuanya yang telah mendukung dan mendoakan saya dalam perjalanan panggilan ini. Saya bisa mengenal dan mengidolakan Santo Vinsensius dalam hidup saya.

Cerpen: Kado Buat Tuhan

Matahari bersinar cerah sore ini. Sedikit cahaya masuk kamar saya. Tepat mengenai mata saya. Saya segera bangun dari tidur siang karena sil...